Biografi Prof. KH. Ibrahim Hosen., LML

KELAHIRAN

Prof. KH. Ibrahim Hosen., LML lahir pada tanggal 1 Januari 1917, di Tanjung Agung, Bengkulu. Beliau merupakan putra kedelapan dari 12 bersaudara dari pasangan KH. Hosen, seorang Ulama dan Saudagar keturunan Bugis dengan Siti Zawiyah, keturunan ningrat Kerajaan Salebar, Bengkulu.

WAFAT

Setelah delapan hari dirawat di Mount Elizabeth Hospital, Singapura, Prof. KH. Ibrahim Hosen berpulang ke haribaan-Nya dalam usia 84 tahun, 7 November 2001 M/21 Sya’ban 1422 H. Beliau sendiri yang meminta berobat ke tempat di mana beliau pertama kali mengenal sekolah formal, Madrasah Assagaf, 1927, setelah merasa jantungnya kembali sakit. Beliau beristirahat terakhir di komplek pemakaman UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Banten.

PENDIDIKAN

Secara formal, Ibrahim Hosen mulai pendidikannya di Madrasah al-Sagaf, tingkat Ibtidaiyah di Singapura. Kemudian melanjutkan pendidikan di Mu’awanatul Khaer ArabischeSchool (MAS) di Tanjung Karang yang didirikan orang tuanya. Pada tahun 1932, dia melanjutkan sekolahnya di Teluk Betung. Di luar waktu sekolah, Ibrahim Hosen menggunakan kesempatan untuk belajar agama dan bahasa Arab kepada Kiai Nawawi, seorang ulama’ besar yang pernah belajar dan menjadi guru di Makkah selama kurang lebih 12 tahun.

Dan dari kiai inilah ia memperoleh kelebihan dalam penguasaan ilmu-ilmu agama, terutama bahasa Arab dan Fikih. Pada tahun 1934, Ibrahim Hosen belajar di Pesantren yang diasuh oleh KH. Abdul latief di Cibeber, Cilegon dikawasan Banten. Setelah 2 bulan, ia melanjutkan pengembaraannya menuju Jameat al-Khaer Tanah Abang, dengan tujuan adalah ingin belajar kepada Sayyid Ahmad al-Segaf, seorang ulama’ yang sangat pandai dalam ilmu bahasa dan sastra Arab.

Pada tahun yang sama, Ibrahim meneruskan ke Pesantren Lontar, Serang Banten yang diasuh oleh KH. TB. Soleh Makmun (di Arab dikenal dengan Syeh Makmun al-Khusairi) yang ahli dalam bidang qira’at dan Tilawat al-Qur’an. Kemudian, Ibrahim pergi ke Buntet untuk berguru kepada ulama besar, yaitu KH. Abbas, seorang murid KH. Hasyim Asy’ari pendiri NU. Dengan Kiai Abbas, walaupun hanya 4 bulan, Ibrahim sudah dianggap cukup, kemudian disarankan untuk melanjutkan di Solo atau Gunung Puyuh, Sukabumi.

Di Solo, Ibrahim menemui Sayyid Ahmad al-Segaf untuk memperdalam bahasa Arab dan Muhsin al-Segaf (kakak Ahmad al-Segaf) untuk memperdalam fikih. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Gunung Puyuh, Sukabumi yang dipimpin oleh KH. Sanusi. Di sini, Ibrahim mempelajari kitab al-Um, Balaghah, dan lain-lain selama 5 bulan.

Pada tahun 1940, ia memperoleh beasiswa belajar di Universitas al-Azhar Mesir. Tetapi Ibrahim tidak bisa berangkat, karena Konsul Belanda di Palembang tidak memberikan paspor. Penyebabnya, pada waktu itu Polandia diserang oleh tentara Nazi Jerman, sebagai awal pecahnya perang dunia II, sehingga situasi dunia dianggap tidak aman termasuk Mesir. Baru pada tahun 1955, Ibrahim benar-benar pergi ke Mesir. Selama belajar di Mesir inilah, ia dapat meraih Shahadah Aliyah atau sarjana lengkap dalam bidang syariah (LML).

MUJTAHID FATWA

  1. Ma’ruf Amin, Ketua MUI saat ini, menyatakan bahwa Ketua Komisi Fatwa MUI sejatinya adalah KH. Ibrahim Hosen. Siapapun yang menjabat tempat tersebut hanyalah mewakili sang pencetus lahirnya MUI itu.

Beliau KH. Ibrahim pada Oktober 1970 mengusulkan hadirnya sebuah majelis ulama sebagai wadah ijtihad kolektif. Gagasan yang muncul pada konferensi tentang lembaga ijtihad kolektif itu sempat ditentang oleh Buya Hamka yang pada akhirnya menjadi Ketua MUI pertama, 1975. Pada saat itu, Buya Hamka mengusulkan perlu adanya mufti negara saja, bukan majelis.

Pemikiran beliau seringkali menuai polemik di tengah masyarakat. Tetapi beliau tak asal melontarkan hasil ijtihadnya. Hal itu ditopang pondasi metodologi yang kokoh. Kebenaran ilmiah harus ditegakkan, ujarnya. Polemik itu muncul di antaranya saat beliau memperbolehkannya KB pada tahun 1967, membolehkan hakim dari kaum wanita pada tahun 1974, dan pendapatnya yang paling kontroversial adalah saat beliau menyatakan bahwa Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) bukanlah maisir (judi).

Polemik terakhir itu menuai banyak cemoohan dari berbagai pihak. Namun beliau menjawab cemoohan itu dengan cara akademis. Menurutnya, setelah menyimpulkan dari berbagai literasi yang beliau baca, maisir itu permainan yang mengandung unsur taruhan dan dilakukan berhadapan. Illat berhadapan ini dapat menimbulkan permusuhan dan lupa Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maisir itu tidak haram karena dirinya (li dzatih), tetapi sebagai bentuk mencegah kerusakan (li syadz dzariah).

Karena tidak mengandung unsur berhadapan, maka SDSB statusnya mubah (boleh). Namun, pada praktiknya menimbulkan efek negatif, hal tersebut dapat berubah menjadi haram. Haramnya SDSB ini bukan karena maisir, tetapi karena adanya larangan pemerintah, begitu terang Kiai Ibrahim.

Sebagai bentuk penghargaan atas pemikirannya yang sangat brilian, tim penulis biografinya yang dipimpin Prof Hasbiallah memposisikan beliau sebagai mujtahid fatwa. Hal ini juga diungkapkan oleh guru besar IAIN Makassar, Prof. Dr. Umar Shihab. Menurutnya, Kiai Ibrahim bukan sekadar faqih, tetapi beliau itu mujtahid. Dengan sangat rendah hati, beliau menolak sebutan tersebut.

MENDIRIKAN IIQ

Atas prakarsa al-Maghfurlah Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML, Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta didirikan pada tanggal 1 April 1977 M oleh Yayasan Affan, yang diketuai oleh H. Sulaiman Affan. Kemudian sejak tahun 1983 misi IIQ Jakarta dilanjutkan oleh Yayasan IIQ, yang diketuai oleh Hj. Harwini Joesoef. Periode 2018 – 2025 Yayasan IIQ diketuai oleh. Ir. H. Rully Chairul Azwar.

Prof. KH. Ibrahim Hosen adalah salah seorang ahli fiqih dan pelopor pengembangan studi dan pengkajian ilmu-ilmu al-Qur’an di Indonesia. Hal ini ditandai dengan hampir separuh lebih, usia beliau dihabiskan dalam perjuangan yang tiada henti untuk pengembangan ilmu-ilmu al-Qur’an. Mulai tahun tujuh puluhan, beliau adalah salah seorang penggagas dan pendiri Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta khusus putra yang kini berubah nama menjadi Institut Studi Ilmu Al-Qur’an (ISIQ). Kemudian pada 1 April 1977, beliau bersama dengan Yayasan Affan, mendirikan IIQ Jakarta, khusus putri.

Pada mulanya Institut Ilmu Al- Qur’an (IIQ) Jakarta membuka Program Magister khusus wanita dengan dukungan Pemerintah Daerah Tingkat I seluruh Indonesia untuk memenuhi kebutuhan tenaga khusus per-MTQ-an di berbagai propinsi dan sebagai tenaga pengajar pada program Strata Satu (S1). Setelah meluluskan dua angkatan, IIQ Jakarta membuka program sarjana (S1) pada tahun 1981 dan membuka kembali program magister (S2) tahun 1998.

Dengan demikian lengkaplah perjuangan beliau dalam memperjuangkan cita-citanya, agar di Indonesia terdapat Perguraun tinggi khusus pengkajian ilmu-ilmu al-Quran untuk putra dan putri. Beliau dengan setia memimpin IIQ Jakarta dari sejak berdiri hingga akhir hayat

SOSOK PEMIKIR

Sebagai ketua komisi fatwa kedua MUI menggantikan KH. A. Syukri Ghazali, Kiai Ibrahim Hosen memiliki posisi istimewa di komisi ini. Menurut KH. Ma’ruf Amin, dialah yang meletakkan kerangka kerja dan metodologi penetapan fatwa di komisi fatwa MUI. Awalnya, mekanisme fatwa MUI terpolarisasi antara gaya NU dan Muhammadiyah. Lalu kiai Ibrahim memperkenalkan format baru yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Karena itulah, para ketua komisi fatwa berikutnya seolah hanya mewakili tempat kiai Ibrahim Hosen. Ibaratnya, MUI tak lepas dari komisi fatwa dan komisi fatwa tak bisa dilepaskan dari Kiai Ibrahim Hosen.

Beberapa contoh fatwa MUI di mana Kiai Ibrahim Hosen terlibat di dalamnya adalah soal kebolehan umat Islam mengikuti program Keluarga Berencana (KB) ketika mayoritas ulama saat itu (1967) belum sepakat mengenai perencanaan keluarga. Kiai Ibrahim Hosen juga disebut sebagai ulama pertama Indonesia yang membolehkan seorang perempuan menjadi hakim. Saat itu, Kiai Ibrahim harus berdebat keras dengan KH. Mahrus Ali Lirboyo yang mengharamkan perempuan menjadi hakim.

Yang paling kontroversial adalah ketika Kiai Ibrahim Hosen berpendapat bahwa SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) bukanlah judi (maisir). Kiai Ibrahim berpandangan bahwa tidak setiap undian adalah judi dan tidak setiap yang bersifat untung-untungan adalah maisir. Sebab, jual beli dan sewa-menyewa juga mengandung unsur untung-untungan (artinya ada ketidakpastian).

Menurut Kiai Ibrahim, dengan mengutip pendapat Imam Syafi’i, illat hukum (alasan) haramnya maisir adalah taruhan dan berhadapan. Jika tidak ada dua unsur itu, berarti SDSB bukan termasuk judi. Akibat pandangan ini, Kiai Ibrahim di-bully banyak pihak. Untuk menjawab berbagai tuduhan negatif, ia menulis buku dengan Ma Huwa al-Maisir: Apakah Judi itu (1987).

Mengenai talfiq, Kiai Ibrahim juga memiliki pandangan yang menarik. Menurutnya, talfiq adalah beramal dalam suatu masalah menurut hukum yang merupakan gabungan dari dua madzhab atau lebih. Kiai Ibrahim berpandangan bahwa talfiq dibolehkan dalam Islam.

Dengan mengutip pendapat Kamal bin Hasan, ia berpandangan bahwa tidak ada satupun nash Alquran dan sunnah yang mewajibkan seseorang harus terikat dengan satu mazhab tertentu. Mewajibkan seseorang harus terikat pada satu mazhab akan mempersulit umat, padahal asas hukum adalah meniadakan kesulitan (‘adam al-haraj). Dengan catatan, talfiq dapat dilakukan apabila situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan (darurat).