Persaudaraan Perspektif Al-Qur’an
Persaudaraan adalah salah satu ajaran inti agama. Semua agama mengajak umatnya untuk memperkokoh persaudaraan. Sebab tidak mungkin manusia mampu menyelesaikan persoalan hidupnya tanpa bantuan orang lain. Jika tidak punya saudara, cukup sulit ia dapat mengurai problematika yang dihadapinya. Tidak berlebihan bila Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam saat tiba di Madinah, selain membangun masjid, juga mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar, dan mendamaikan suku Aus dan Khazraj.
Persaudaraan dalam bahasa Arab disebut ukhūwah, dari kata al-akh yang secara etimologis berarti kebersamaan (asy-Syarākah). Karena itu, saudara sejatinya mengandung makna senasib dan sepenanggungan. al-akhūwah meniscayakan adanya aspek yang mempertemukan antara satu orang dengan yang lainnya, baik aspek itu bersifat positif maupun negatif. Pada titik ini, tidak salah bila sebagian orang berpendapat saudara itu berasal dari kata se-udara. Sepanjang masih menghirup udara yang sama, sejatinya manusia memiliki ikatan persaudaraan, ikatan kebersamaan.
Dalam Al-Qur’an, kata ukhūwah dan derivasinya diulang 96 kali. Dari sekian banyak ayat tersebut, jika diklasifikasi, dapat dikelompokkan menjadi lima macam persaudaraan. Pertama, persaudaraan senasab atau seketurunan (ukhūwah an-nasab), baik saudara kandung atau seayah dan seibu saja. Hal ini seperti terlihat pada QS An-Nisa’: 11, 12, 176; QS Al-Ma’idah: 25, 30, 31; QS Al-A’raf: 142, 150, 151; dan QS Yūsuf: 58. Saudara senasab seketerunan inilah yang kemudian oleh KH Ahmad Shiddiq disebut sebagai saudara sekemanusiaan (ukhūwah insāniyah).
Kedua, persaudaraan sepersusuan (ukhūwah ar-radhā’ah), seperti terlihat dalam QS An-Nisa’: 23. Secara syar’i, persusuan dapat menyebabkan seseorang menjadi saudara. Karena itu, kendati Nabi Muhammad tidak memiliki saudara kandung, beliau punya 7 saudara sepersusuan yaitu Abdullah bin Abdul Asad, Masruh, Hamzah bin Abdul Muthalib, Abdullah bin al-Harits, Anisah binti al-Harits, Hudzafah binti al-Harits, dan Abu Sufyan bin al-Harits bin Abdul Muthalib.
Ketiga, persaudaraan seagama dan sekeyakinan (ukhūwah ad-dīn wa al-‘aqīdah), seperti dalam QS At-Taubah: 11 dan QS Al-Ḥujurāt: 10. Persaudaraan jenis ini disebut oleh para ulama sebagai persaudaraan hakiki karena motif yang mengikat manusia adalah agama dan keyakinan terhadap Tuhan, bukan motif-motif material yang bersifat temporal dan parsial. Keimanan yang kokoh dan sahih juga mampu menggerakkan seseorang untuk proaktif dalam kebaikan dan perbaikan (islāh).
Keempat, persaudaraan sebangsa dan setanah air (ukhūwah qaumīyah wa wathanīyah), seperti pada QS Al-A’raf: 65, 73, 85. Secara berurutan ayat-ayat ini menyebut Nabi Hud sebagai bagian dari kaum ‘Ād, Nabi Shalih bagian dari kaum Tsamud, dan Nabi Syu’aib bagian dari kaum Madyan. Hal ini menjadi bukti bahwa nasionalisme dan persaudaraan setanah air merupakan ajaran autentik Al-Qur’an. Maka syiar hubbul wathan minal imān yang dibuat Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, dan lagu Yalal Wathan yang digubah KH Wahab Hasbullah sejatinya adalah bentuk pengejawantahan dari ajaran Qur’an tentang ukhuwah wathaniyah tersebut.
Kelima, persaudaraan sekomunitas dan senasib sekelakuan. Maksudnya, persaudaraan ini didasari oleh nilai-nilai, karakteristik dan perilaku yang sama. Al-Qur’an misalnya menyebut kaum mubadzdzirin sebagai ikhwān (saudara) setan (QS Al-Isra’: 27), karena mereka dipertemukan pada perilaku yang sama yakni suka menghambur-hamburkan harta benda. Hanya, persaudaraan jenis ini dikecam oleh Al-Qur’an karena membawa kepada hal-hal yang kontraproduktif dan destruktif. Jika hal-hal negatif seperti ini dapat dijadikan motif persahabatan, seyogianya hal-hal yang positif lebih dapat dijadikan perekat persaudaraan.
Terlepas dari keragaman jenis persaudaraan di atas, yang jelas Al-Qur’an kerap menegaskan bahwa di antara jalan terefektif untuk mengarungi kehidupan ini adalah dengan memperkokoh persaudaraan. Cara terbaik untuk menggapai kemenangan adalah melalui suluk ukhuwah. Umar bin Khattab pernah berkata: “Seorang hamba tidak diberi anugerah lebih baik setelah kenikmatan Islam, kecuali kenikmatan memiliki saudara yang saleh (baik). Apabila kamu dapati salah seorang sahabat yang saleh maka peganglah erat-erat.” Semoga di Ramadhan yang penuh berkah ini, ikatan persaudaraan itu bisa semakin kokoh.
Oleh Muhammad Ulinnuha, Dekan FUD IIQ Jakarta, Sekum PP JQHNU
Telah dimuat di https://banten.nu.or.id/opini/persaudaraan-perspektif-al-qur-an-y00dk