Dosen-Dosen IIQ Ikuti Workshop Kompetensi Dosen Tafsir Berbasis Fakultas

JAKARTA – Kamis sd. Jum’at, 7-8/11/2103, beberapa dosen Tafsir IIQ mengikuti Workshop Kompetensi Dosen Tafsir Berbasis Fakultas yang diselenggarakan oleh UIN Syarif Hidayatullah di Wisma Syahida Inn. Dalam hal ini beberapa dosen IIQ hadir sebagai peserta, dan ada juga yang hadir sebagai narasumber dan fasilitator. Dr. Romlah Widayati MA, Ali Mursyid M.Ag, Nur Izzah MA dan Istiqomah MA hadir sebegai peserta. Dr. Ahsin Sakho Muhammad MA hadir sebagai narasumber dan Dr. Anshori hadir sebagai fasilitator diskusi.

Dalam kata pengantarnya, panitia acara, Dr. Maksum menyampaikan bahwa, “Workshop ini diselenggarakan atas dasar pertimbangan, bahwa sekarang ini, bersama berkembangnya IAIN menjadi UIN Jakarta, sampai sekarang ini ternyata belum ada keseragaman atau kesepakatan mengenai pembelajaran tafsir, khususnya di fakultas-fakultas yang bukan fakultas Ushuluddin. Kalau fakultas Ushuluddin karuan saja sudah fokus pada kajian tafsir, tetapi fakultas-fakultas lainnya, terutama yang umum-umum, mereka sampai detik ini belum menemukan format silabi dan pembelajaran yang cocok. Karena itu kita dari UIN, meminta urun rembug dengan dosen-dosen tafsir, baik yang ada di UIN maupun yang menyebar di kampus-kampus, seperti IIQ dan PTIQ”.

Sementara itu Dr. Ahsin, yang notabene rektor IIQ Jakarta, menyampaikan harapan idealnya. “Dari sekian banyak kampus UIN dan IAIN di negeri ini, dari sekian banyak mahasiswa dan lulusannya, kok sampai detik ini belum ada yang mampu menulis tafsir al-Qur’an yang bisa dibaca oleh umat Islam dunia. Atau paling tidak ada ahli Ulumul Qur’an dan Tafsir, lulusan UIN atau IAIN yang dikenal dunia. Kenapa demikian, ada apa yang salah dengan pembelajaran tafsir di perguruan tinggi Islam di tanah air?”, Tanya Ustadz Ahsin dengan lantang, membikin hening yang hadir untuk beberapa saat.

Lebih lanjut beliau menegaskan, “paling parahnya lagi, sekarang ini dikabarkan bahwa tidak sedikit alumni atau mahasiswa UIN dan IAIN yang masih belum bener ngaji membaca al-Qur’an. Yang demikian sungguh tidak bisa ditolerir”, katanya dengan tegas.

“Karena itu, menurut hemat saya, ada beberapa hal yang harus dibenahi dalam pembelajaran tafsir di perguruan tinggi di negeri ini: Pertama, mulai dari input mahasiswa, harus dipastikan mereka yang masuk diterima menjadi mahasiswa adalah mereka yang sudah bisa membaca al-Qur’an. Kedua, untuk mahasiswa-mahasiswa yang sudah kadung diterima tetapi ternyata belum lancer membaca al-Qur’an, maka harus diwajibkan mengikuti program khusus pembinaan intensive membaca al-Qur’an. Ketiga, pemeblajaran tafsir mesti jelas orientasinya, jangan hanya berorientasi menjadi mahasiswa menjadi peneliti dan pengkaji bidang tafsir, tetapi juga alangkah baiknya kalau bertujuan atau berorientasi agar mereka juga mulai mampu menulis tafsir al-Qur’an sendiri. Karena itu, materi-materi yang memebali pada kemampuan menafsirkan (malakatut tafsir) hendaknya diperbanyak.

 

Berbeda dengan Ahsin, Farid Saenong, narasumber hari kedua, Jum’at, 8/11, memaparkan pemetaan studi al-Qur’an dan tafsir di negara-negara Barat, lengkap dengan peluang-peluang mendapatkan beasiswa studinya.

Di bagian akhir workshop,  fasilitator diskusi meminta para peserta secara berkelompok untuk merumuskan silabi tafsir yang cocok untuk fakultas-fakultas atau prodi-prodi yang berlaku umum untuk semua prodi di setiap fakultas yang ada, baik fakultas agama maupun non agama. (Ali Mursyid) /* Style Definitions */ mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:”Times New Roman”; mso-fareast-theme-font:minor-fareast; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:Arial; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}