Penafsiran terhadap Al-Qur’an tidak boleh berhenti sampai di sini. Allah telah berfirman agar umat Islam berpikir dan melakukan ijtihad.
Dewasa ini, ilmuwan wanita semakin memainkan perannya. Secara kuantitas, memang tidak sebanding dengan ilmuwan pria. Namun secara kualitas, kapasitas keilmuan mereka tidak bisa dipandang sebelah mata.
Dr. Faizah Ali Syibromalisi, misalnya. Namanya sudah tidak asing lagi. Ia begitu dikenal masyarakat luas. Tidak hanya di Nusantara, namun juga mancanegara. Ia kerap mengisi berbagai seminar, sarasehan, dan workshop, serta dosen tamu di berbagai universitas luar negeri. Karya-karyanya pun menjamur.
Lantas apa hubungannya Faizah dengan K.H. Ali Syibromalisi, tokoh ulama terkenal di Jakarta, yang juga putra ulama terkemuka, K.H. Abdul Mughni, atau lebih populer dengan sebutan “Guru Mughni”? Tiada lain, ia adalah putri bungsu kiai kharismatis Betawi itu.
Sebagai putri kiai yang juga seorang pendidik, Faizah mengenyam pendidikan sangat baik. Sejak kecil, sang ayah mendidik dan mengajarkan langsung ihwal dasar-dasar agama. “Saya masih ingat dengan jelas, ketika saya sedang asyik bermain bulu tangkis, tiba-tiba Ayah memanggil, meminta saya belajar. ‘Lebih baik belajar, ayo nulis dan menghafal mahfuzhat (hafalan-hafalan yang biasanya berupa syair inspirasi Arab)’,” katanya mengenang.
Kutu Buku
Nyaris tidak ada waktu luang yang dimiliki Faizah kecil, karena waktunya dihabiskan untuk belajar. Ba’da shalat Subuh, waktu yang begitu pas untuk tidur, diisinya untuk belajar mempersiapkan pelajaran sekolah. Pada pukul 7.00 ia lanjutkan belajar di sekolah. Sepulang sekolah ia pun masih harus belajar mengulang pelajaran yang telah didapatnya di bangku sekolah. Ba’da maghrib ia mengaji langsung dengan sang ayah. Ba’da isya ia tidak langsung tidur, namun kembali belajar.
Ayahnya begitu disiplin terhadap pendidikannya. Ada istilah yang hingga kini selalu dikenang Faizah. “Ayah bilang, ‘Saya tidak ingin kehilangan kapak besar demi mendapatkan jarum kecil.’ Maka, setiap pulang mengajar atau ceramah di malam hari, beliau selalu mengontrol kami satu per satu,” tutur Faizah.
Faizah memiliki hobi membaca, sehingga ia begitu asyik melahap buku koleksi ayahnya. Bahkan di usianya yang baru beranjak 10 tahun, ia telah habis membaca buku-buku terbitan Balai Pustaka. Mulai dari romans hingga novel.
Hobinya itu menghantarkan Faizah ke puncak prestasi akademik. Ia selalu tampil sebagai juara kelas. Ia juga tumbuh menjadi anak yang aktif. Sehingga, ia tidak merasa sungkan untuk mengajukan dirinya dalam menjawab pertanyaan para guru. “Ketika angkat tangan untuk menjawab pertanyaan guru, saya kerap dilarang. ‘Jangan Faizah lagi. Ayo yang lainnya’,” katanya.
Prestasinya ia pertahankan hingga di SMA.
Setamat dari situ, sang ayah memintanya melanjutkan kuliah ke Universitas Al-Azhar, Mesir. Namun Faizah merasa berat bila harus meninggalkan keluarga. Maklum ia anak bungsu. Selama itu ia tidak pernah jauh dari keluarga. Keluarganya begitu menyayangi dan memanjakannya. Apa jadinya bila si bungsu ini hidup seorang diri di negeri orang tanpa sanak famili.
Maka ia mencoba merayu sang ayah agar ia kuliah di IAIN (saat ini UIN) Jakarta. Sang ayah pun luluh dan mengalah.
Faizah berhasil masuk UIN tanpa tes, karena nilai rapor dan ujian SMA-nya sangat bagus.
Setahun kemudian, sang ayah memintanya lagi untuk kuliah ke Al-Azhar, Mesir. “Ayah itu sangat pandai membujuk saya. Katanya, tidak masalah kalau saya harus ambil jurusan umum. Namun bila liburan musim panas, saya diminta ambil kuliah dan belajar agama di Al-Azhar. Yang penting berangkat dulu ke Mesir...,” kata Faizah.
Karena cinta dan hormatnya kepada sang ayah, Faizah pun tidak kuasa menolak untuk yang kedua kalinya. Maka pada tahun 1970-an, berangkatlah ia ke Mesir.
Al-Azhar, universitas Islam tertua di dunia, unggul dalam bidang studi agama Islam. Faizah merasa sia-sia bila tidak memanfaatkan itu dengan baik. Maka ia pun memutuskan masuk Fakultas Ushuluddin.
Begitu Cinta dengan Ilmu
Masa-masa pertama, Faizah sempat merasa berat, lantaran perkuliahannya menggunakan pengantar bahasa Arab. Sebetulnya Faizah mengerti bahasa Arab, namunlahjah (dialek)-nya berbeda, ditambah lagi tentu karena ia bukan penutur asli bahasa Arab, sehingga ia harus betul-betul fokus untuk memahaminya. Ini yang sedikit membuatnya kesulitan. Beruntung Faizah memiliki ghirah dan himmah begitu tinggi terhadap ilmu. Sehingga hari-harinya dihabiskan untuk belajar, belajar, dan belajar.
Lama-lama ia menjadi terbiasa. Belajar menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dirinya. Berkat disiplin dan semangat belajarnya yang tinggi ia berhasil mengikuti mata kuliah dengan baik. Nilainya selalu memuaskan. Terlebih ia begitu aktif, terutama dalam menjawab pertanyaan dosen, sebagaimana yang dilakukannya ketika ia belajar di Indonesia. Setiap dosen mengajukan pertanyaan, ia selalu tampil paling dulu untuk menjawabnya. Ia juga tidak segan-segan menyampaikan pendapat, bila diminta oleh sang dosen tentunya.
Sebagai wanita yang selalu berpikiran maju, Faizah juga aktif mengikuti seminar dan aktif di berbagai kegiatan ekstra kampus, seperti kegiatan kepanduan dan kegiatan kajian perkumpulan bagi mahasiswa Indonesia.
Selama belajar di Al-Azhar, Faizah begitu berkesan. Banyak dosen yang menginspirasinya untuk mendalami ilmu Al-Qur’an dan tafsir. Seperti Prof. Dr. Abdul Mun’im Khiribah.
Dosen yang memiliki pemahaman luas itu begitu asyik dalam mengajar. “Dalam menjelaskan tafsir Al-Qur’an, beliau selalu mengkaji dari berbagai aspek disiplin ilmu pengetahuan, seperti tajwid, nahwu, balaghah, asbabun nuzul, munasabah, dan yang lainnya. Waktunya juga hinga berjam-jam, akan tetapi saya begitu asyik mengikutinya, sehingga sama sekali tidak ada perasaan jenuh. Semenjak itu saya menjadi tertarik dengan tafsir,” kata Faizah.
Maka, setamat S1, Faizah tidak langsung kembali ke Indonesia, melainkan melanjutkan ke tingkat master.
Faizah juga begitu dekat dengan para dosen. Salah satunya Prof. Dr. Husaini Abu Farhah. Bahkan ia masih mengenang perlakuan istimewa sang dosen sesaat sebelum ujian munaqasyah (pendadaran) tesis.
“Kala itu saya selalu mengantar-jemput Dr. Abdul Mun’im Khiribah selepas ngajar dengan mobil saya. Suatu ketika sesaat sebelum saya mengikuti ujian munaqasyah, ia meminta saya untuk menjemputnya di rumah.
Sesampainnya di rumah, beliau menyuruh saya membaca muqadimah tesis di hadapannya, apakah saya sudah betul-betul siap sehingga ia bisa mengoreksi bila ada kekeliruan. “Jangan memalukan, Faizah, kamu harus tampil sempurna dalam ujian,” katanya.
“Subhanallah, sampai sebegitu besar perhatiannya,” kata Faizah.
Alhasil, Faizah lulus dengan nilai mumtaz (sempurna).
Semasa di Mesir, Faizah pun sempat bekerja di Radio Kairo seksi Indonesia selama sembilan tahun. Saat itu, ia adalah satu-satunya mahasiswi Indonesia yang lulus tes seleksi. Selain itu ia juga menjadi editor, penerjemah, dan penyiar.
Begitu cintanya dengan ilmu, khususnya ilmu tafsir, selepas menikah dengan Ahmad Sayuti, dan dikaruniai anak bernama Wisam Rohilina dan Amjad Rikzan, ia melanjutkan tingkat ke tingkat doktoral.
Shalih li Kulli Zaman wa Makan
Setelah menyelesaikan doktornya, ia kembali ke Indonesia, dan memilih mengikuti jejak sang ayah, menjadi pendidik. Saat ini ia menjabat dekan Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al-Qur’an dan menjadi dosen tafsir di Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah, baik di strata 1 maupun pascasarjana.
Faizah memang begitu mencintai ilmu tafsir dan Al-Qur’an. Inilah salah satu bukti dari janji Allah Azza wa Jalla.“Inna nahnu nazzalnadz dzikra wa inna lahu lahafizhun.”Allah akan menjaga Al-Qur’an melalui umat Nabi Muhammad SAW.
Menurutnya, umat Islam diwajibkan untuk memahami Al-Qur’an. Bukan sekadar membaca, menghafal, dan mengambil pahala darinya. “Al-Qur’an merupakan kitab petunjuk bagi umat Islam. Bagaimana bisa dijadikan pedoman dalam hidup sementara kita tidak memahaminya?” kritik Faizah.
Memahami berbeda dengan menafsirkan. Umat Islam wajib memahami Al-Qur’an, mulai dari tingkat terendah hingga tertinggi, yaitu mengkaji. Memahami tidak harus menafsirkan Al-Qur’an, cukup membaca dari produk tafsir yang telah ada. Sementara menafsirkan Al-Qur’an perlu keahlian khusus dengan berbagai disiplin ilmu, wa bil khusus ilmu tentang Al-Qur’an. Misalnya, kemampuan bahasa Arab yang baik, menguasai ilmu sastra, dan sebagainya.
Penafsiran terhadap Al-Qur’an tidak boleh berhenti sampai di sini. Allah telah berfirman agar umat Islam berpikir dan melakukan ijtihad. La’allakum tadzakkarun, la’allakum ta’qilun, la’allakum tatafakkarun. Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berpikir, menggali kemukjizatan Al-Qur’an.
Tafsir A-Qur’an tidak cukup digagas satu generasi. Karena tafsir yang ada beratus tahun silam belum tentu kontekstual dengan kondisi saat ini. Begitu juga dengan tafsir saat ini, 25 tahun kedepan mungkin harus direvisi, kembali karena dunia ini terus berkembang. Demikian pula dengan permasalahan umat.
Idealnya setiap generasi menggeluti bidang ini sehingga mampu melahirkan tafsiran yang kontekstual dengan zamannya. Dengan demikian dapat membuktikan bahwa Al-Qur’an adalah shalih li kulli zaman wa makan, cocok dengan segala kondisi zaman.
Mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, namun karya kitab tafsir yang ada saat ini tidak seberapa. Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Padahal Islam datang ke Indonesia sejak abad ke-14, tidak berbeda dengan negara-negara lainnya di Asia Tenggara.
Belakangan mulai bermunculan buku yang mengulas mukjizat Al-Qur’an dan tafsirnya. Akan tetapi masih jauh tertinggal. Walau demikian, ini perlu diapresiasi dan disyukuri, karena buku tafsir tersebut telah memperkaya khazanah keislaman.
Maka, di akhir perbincangan dengan alKisah, Faizah begitu terinspirasi untuk menulis buku sebanyak-banyaknya. “Dengan buku, saya bisa mengeluarkan ide dari sedikit ilmu yang saya miliki, agar pemahaman umat Islam terhadap Al-Qur’an bertambah. Kapasitas keislaman mereka semakin luas. Umat Islam saat ini begitu besar, namun sangat sedikit di antara kita yang memahami Islam dengan baik. Selama ini agama hanya menjadi urusan domestik, bukan publik, padahal agama itu harus mewarnai segala aspek kehidupan,” kata Faizah.
Sebetulnya Faizah telah menelurkan beberapa karya ilmiah. Di antarannya Pengaruh Qira’at Nafi’ Riwayat Qolun dalam Penafsiran Al-Qur’an dan Perbedaannya dengan Qira’at ‘Ashim Riwayat Hafsh. Ia juga terlibat dalam penulisan Kitab Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an, Kementerian Agama.
Di Indonesia sendiri, baru ada beberapa ahli tafsir pria yang mumpuni. Sebut saja misalnya Buya Hamka dan Prof. Quraish Shihab. Namun ahli tafsir wanita, masih belum banyak yang tampil. Sepertinya tidak berlebihan bila kita berharap Faizah bisa mengisi kekosongan itu.