Fungsi Niat Dalam Kehidupan
DR. KH. Ahsin Sakho Muhammad, MA
Niat dalam terminologi ulama fiqh, adalah qashdu syai’in muqtaranan bi fi’lihi, artinya menyengaja untuk melakukan sesuatu dibarengi dengan mengerjakannya sesuatu itu. Jika sesorang melakukan amal ibadah, maka ketika melakukan amal ibadah itu maka dibarengilah dengan niat, dengan tujuan.
Namun, niat dalam perspektif yang lebih luas adalah gerakan hati dalam rangka melakukan sesuatu tindakan, baik berbarengan dengan tindakan itu, atau sebelumnya. “Innamal ‘amalu bi al-niyat” ini adalah salah satu tonggak bagi nilai-nilai spiritual dalam melakukan suatu pekerjaan.
Sebagian ulama memberikan penafsiran mengenai hadis “Innamal ‘amalu bi al-niyatu” adalah dengan bahwa yang menentukan sah tidaknya suatu ibadah adalah niatnya saja. Tetapi menurut saya, biar saja arti niat disitu berlaku umum saja. Jadi kalau diartikan umum maka artinya, setiap amalan itu tergantung kepada niatnya. Ini arti umum sekali. Biarkan saja makna niat masih dalam keumumanya itu. Tidak merujuk pada terminology para fuqaha itu. Nanti kita lihat apa konsekwensi niat di dalam mengerjakan suatu pekerjaan.
Hati sesorang sebelum melakukan suatu tindakan, itu melalui beberapa fase. Ada fase yang berupa fikiran yang terlintas saja. Ini namanya khatharatul Qalbi, atau al-Hawajis al-Nafsiyah. Meningingkat dari fase yang pertama ke fase yang kedua, yaitu fase Hamma, yaitu berarti niat yang berrarti menyengaja secara kuat untuk melakukan sesuatu. Di atas itu ada satu fase lagi, yaitu fase ‘azmun, yaitu tekad yang kuat dari seseorang untuk melakukan sesuatu, sehingga suatu tindakan benar-benar dilakukan
Jika seseorang berniat dan baru sampai fase khathiratul qalbi atau hamma, baru berniat dan bertekad di hati, tetapi belum melakukannya, maka dalam beberapa masalah, itu masih belum terkena khithab syar’iy. Katakanlah di hati kita ini ada satu lintasan pemikiran untuk melakukan tindakan yang melanggar syar’iy, seperti ingin berzina, tetapi masih hanya dalam hati saja, maka belum dihukumi sebagai melanggar syariat. Karena memang masih dalam hati, belum sampai dilakukan. Kecuali berniat melakukan tindakan makshiat di Tanah Haram, jelas itu tidak boleh. Meskipun masih berupa hamma, masih berupa iradah. Dalilnya: “Wa man yurid bi ilhâdin yudziqhu min adzabin alîm”. Artinya: “Siapa yang hendak bermakshiat (di tanah haram red), maka akan kurasakan padanya adzab yang pedih”.
Barulah meningkat berikutnya pada niat tingkatan kedua, sebagaimana dalam al-Qur’an ketika menceritakan hamma-nya Nabi Yusuf as dan Hamma-nya Zulaekho dikatakan: “walaqad hammat bihi wa hamma bihâ”, artinya: “Sesungguhnya Zulaekhho hamma (senang) pada Yusuf, demikian pula Yusuf hamma (senang) pada Zulaekho”. Ada yang mengatakan hamma-nya Zulaekho kepada Yusuf itu ingin nubruk saja, tetapi kalau hamma-nya Yusuf itu ingin memukul. Jadi, kalau niat itu hanya pada taraf ingin (hamma), maka itu juga belum terkena khithabu syar’iy.
Baru jika niat itu meningkat pada tingkatan ketiga, yaitu ‘azmun, yang dibarengi tindakan. Maka inilah yang terkena khithabu syar’iy, artinya dihukumi secara syari’at. ‘azm-nya melanggar syariat , maka hukumnya haram, umpamanya.
Terkait niat dengan tiga tingkatan itu ada suatu hadits Nabi saw menyatakan: “Man hamma bi sayyiatin falam ya’malhâ kutibat kahu hasanatun”, artinya: “Barang siapa berniat (ingin) melakukan perbuatan buruk, tetapi kemudian tidak jadi melakukannya, maka baginya dapat satu pahala”. Jadi seseorang yang hendak melakukan perbuatan makshiat terus dalam dadanya ada peperangan batin, lalu dia tidak jadi melakukan makshiat tersebut, maka dia dapat pahala karena ada peperangan batin inilah. Akan tetapi jika tidak jadinya itu bukan karena adanya peperangan batin di dalam dirinya, tetapi karena takut misalnya, maka tidak akan dapat kebaikan itu.
Sungguh dari paparan ini, bisa disimpulkan bahwa niat sangat menentukan dalam suatu amal ibadah. Niat bisa menjadikan sesuatu yang tadinya adat kebiasaan, bisa menjadi ibadah. Contohnya olahraga, makan, bekerja, itu biasa, tetapi jika diniati sebagai ibadah maka menjadi bernilai ibadah. Begitu juga sebaliknya, sesuatu yang tadinya ibadah bisa menjadi bernilai adat kebiasaan, hanya karena niatnya keduniawian. Dengan niat juga, sesuatu yang halal, menjadi haram. Contohnya orang yang menyembelih kerbau untuk tujuan menjadi tumbal.
Niat juga bisa membuat sesuatu bernilai. Orang yang bepergian dengan niat mencari ilmu, jika meninggal, maka meninggalnya bernilai dengan mati syahid
Niat juga bisa membuat menggugurkan kewajiban. Orang yang keluar rumah untuk berhijrah lalu meninggal, maka pahala hijrahnya sudah didapat, tetapi kewajibannya sudah gugur. Begitu juga dengan orang yang pergi ke luar rumah dengan niat melaksanakan ibadah haji lalu ditengah jalan meninggal, maka kewajiban hajinya telah tertunaikan, dan pahala hajinya sudah didapatkan
Niat juga bisa membuat seseorang dapat pertolongan dari Allah swt. Seseorang yang menikah dengan tujuan dapat menjaga dirinya sendiri dari makshiat. Ini dalam suatu hadis, akan ditolong oleh Allah swt.
Niat baik, juga bisa menyebabkan seseorang dapat rukhshah dalam beribadah. Seperti orang yang pergi untuk tujuan baik tidak bertentangan dengan syariat, maka diperbolehkan melakukan berbuka puasa, dan dibolehkan juga menqashar dan menjama’ shalat.
Niat puasa di bulan Ramadhan yang baik adalah karena keimanan dan karena berniat memperoleh pahala. Ini yang paling penting. Boleh niat lainnya, asal nioat yang utama ini jangan dihilangkan.
Karena fungsi niat yang sedemikian penting, maka dikatakan oleh Nabi saw dalam suatu hadits; “Niat al-mu’min khairun min ‘amalihi”, artinya: “niat seorang mukmin adalah lebih baik dari amalnya.
___________
Ini disampaikan oleh KH. DR. Ahsin Muhammad, MA, dalam kuliah ba’da dzhuhur di IIQ Jakarta