Perjalanan Tanpa Akhir: Kisah Nafisatul Millah
Dari panggung musabaqah tingkat lokal hingga kancah internasional, nama Nafisatul Millah, terus bersinar. Mahasiswi semester 6 ini dikenal dengan segudang prestasi Qur’ani, khususnya di bidang Hifdzil Qur’an. Meski namanya sudah melambung, Millah, demikian ia akrab disapa, tetap rendah hati.
Perjalanan Millah sebagai penghafal Al-Qur’an dimulai sejak ia duduk di bangku SD, dengan bimbingan langsung dari kedua orang tuanya dan guru Qur’an pertamanya, umi Nur Fadhilah. Tapi tekadnya dalam menghafal Al-Qur’an baru benar-benar tumbuh tatkala ia masuk pesantren Al-Kautsar di usia 14 tahun, di bawah asuhan Buya Muhammad Ali. Di sana, Millah mulai serius menghafal Al-Qur’an hingga khatam di usia 18 tahun. Selama lima tahun proses ziyadah, Millah tak hanya fokus pada menambah (ziyadah), tetapi diseimbangkan dengan muraja’ah yang konsisten. Awalnya, porsi muraja’ah satu juz per hari, kemudian ketika hafalannya mencapai 10 juz, porsi muraja’ah tersebut bertambah dua juz setiap harinya, dan terus meningkat. Saat ini, meski disibukkan dengan aktivitas akademik, Millah tetap menjaga rutinitas muraja’ahnya dengan tiga juz perhari, tak boleh kurang tapi boleh lebih, karena kunci hafalan yang kuat adalah disiplin muraja’ah.
Selain pernah menimba ilmu di Pesantren Al-Kautsar, Millah juga pernah mengaji di Pondok Pesantren Raudhatul Qur’an Metro dan Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Yogyakarta.
Millah membagikan tips muraja’ah yang sederhana namun penting: disiplin dengan jadwal. “Setiap orang sebenarnya memiliki waktu luang, tapi tidak semua orang mau meluangkan waktunya untuk Al-Qur’an,” ujarnya. Ia percaya, manajemen waktu menjadi kunci meraih keseimbangan antara menjaga hafalan Al-Qur’an dan kewajiban akademik. Satu hal lagi yang ia tekankan: “Saat muraja’ah, jauhkan gawai dari sekitar kita.” Di era serba digital ini, godaan dari layar bisa dengan mudah mengalihkan perhatian dari Al-Qur’an.
Tentu, perjalanan menghafal Al-Qur’an tidak selamanya mulus. Millah mengaku sempat kesulitan ketika menghafal Al-Qur’an, tapi menurutnya, semua kesulitan pasti ada ujungnya. Ia juga kerap diuji dengan kondisi fisik yang sering sakit, namun itu tidak pernah menjadikannya alasan untuk berhenti menapaki jalan sebagai penghafal Al-Qur’an. Dukungan dari orang tua dan guru yang tidak pernah lepas, membuat Millah tak pernah patah semangat.
Perjalanan Millah di dunia musabaqah sudah dimulai sejak kecil. Ia pernah ikut cabang tartil, tilawah, hingga hifdzil Qur’an 1 juz yang mengantarkannya menjadi terbaik pertama tingkat nasional pada tahun 2015. Tatkala menjalani pelatihan MTQ itulah, Millah dipertemukan dengan guru-guru hebat yang menguatkan hatinya untuk terus menghafal Al-Qur’an.
Setiap kali mengikuti musabaqah, Millah selalu mengingat pesan uminya, bahwa jangan pernah niat ikut musabaqah untuk juara, tapi niatkan untuk mencari ridha Allah sembari membenahi bacaan Al-Qur’an dan memperkuat hafalan. Nikmati momen-momen kedekatan yang intens dengan Al-Qur’an, karena momen seperti itu tidak akan bisa dirasakan jika tidak di bawah tekanan musabaqah.
Millah juga mengutip nasihat dari ucapan gurunya, Buya Ali, bahwa ada tiga kategori orang yang jadi juara. Pertama, juara karena kualitas dalam usahanya. Kedua, juara karena takdir. Dan ketiga, juara karena amal sholeh. Entah karena bakti kepada kedua orang tua dan guru, ibadah mahdah dan ghairu mahdah, atau niat yang senantiasa mengharap ridha Allah, yang mengantarkan seseorang menjadi juara. Jika demikian, maka hadiah yang diperoleh adalah pahala dan keberkahan yang tidak sebanding dengan kebahagiaan dunia belaka. Kemudian tatkala ditanyai soal kekalahan, Millah menjawab bahwa siapa pun yang menghafal Al-Qur’an dan yang mengamalkan Al-Qur’an, tidak akan pernah sia-sia. Ia menegaskan, “Apa pun yang berkaitan dengan Al-Qur’an, tidak akan sia-sia.”
Dari sekian banyak perlombaan yang diikuti, ada dua momen MTQ yang paling membekas di hati Millah. Pertama, saat ia secara tiba-tiba diminta untuk pindah dari cabang hifdzil Qur’an 5 Juz dan tilawah ke cabang hifdzil Qur’an 10 Juz pada MTQ Nasional 2019 di Kalimantan Barat. Saat itu, Millah duduk di kelas 3 SMP dengan tuntutan Ujian Nasional di depan mata, sementara hafalannya baru mencapai 5 Juz. Maka dari itu saat pembinaan, setiap minggunya Millah diwajibkan setor hafalan sebanyak 1 juz, bukan dites sebagaimana biasanya. Hingga hari perlombaan tiba, Millah mengaku tidak berekspetasi apa pun, ia hanya berniat untuk menjalankan amanah dari guru-guru yang mempercayainya untuk ikut di cabang lomba 10 Juz.
Berkat pertolongan Allah SWT , alih-alih merasa kesulitan menjawab setiap soal, Millah justru merasa tenang seakan-akan ia sedang muraja’ah sendiri. Tidak sia-sia, perjalanan berat itu mengantarkan dirinya menjadi terbaik pertama dengan rata-rata nilai yang nyaris sempurna. Momen ini menjadi titik balik semangatnya untuk melanjutkan dan menyempurnakan hafalan Al-Qur’an secara utuh 30 Juz. Dan dengan bimbingan guru-guru, prestasi Millah setelahnya terus berurutan di cabang 20 juz hingga 30 juz di tingkat nasional dan Internasional.
Momen kedua yang paling berkesan menurutnya yaitu Musabaqah Hifdzil Qur’an 30 Juz dalam 4th International Holy Quran Competition of Indonesia 2025. Perjalanan ini terasa lebih berat bagi Millah, karena ia dihadapkan dengan berbagai cobaan yang melanda dirinya secara bersamaan. Pada saat itu, ia sedang menghadapi UAS dengan kondisi fisik yang tidak stabil karena sering dilanda sakit dan kurang istirahat pasca training centre untuk MTQ Internasional di Mesir. Tekanan makin terasa mengingat ia akan membawa nama tuan rumah, Indonesia. Oleh karena itu, persiapan yang dibutuhkan sangat ekstra. Dalam sehari, ia harus muraja’ah hingga 6-7 juz, yang membuat tubuhnya sempat beberapa kali drop. Alhasil, dengan ridha Allah SWT, Millah berhasil meraih juara pertama dalam ajang Internasional tersebut.
Untuk para penghafal Al-Qur’an dan siapa pun yang sedang berjuang bersama ayat-ayat-Nya, Millah berpesan, “Perjuangan menghafal Al-Qur’an tak pernah mudah, tapi nanti ini akan menjadi jejak terindah. Muraja’ah terus sampai mati, karena perjalanan menghafal Al-Qur’an adalah perjalanan tanpa henti.” (AH dan AH)