Puasa Menjernihkan Hati
Hati-hati ya! Demikian ungkapan yang kerap kita dengar dari orang-orang sekitar kita saat akan melakukan aktivitas. Pesan ini tentu sarat dengan pesan dan makna. Selain mengharap agar kita berhati-hati dalam menjalankan tugas -sebagaimana pesan tesktualnya- juga menunjukkan pesan tentang pentingnya menggunakan hati dalam mengarungi kehidupan ini. Sebab, kerapkali manusia menanggalkan hati dalam aktivitas kehidupannya.
Hati dalam bahasa Arab disebut al-qalb yang berarti berubah-ubah atau bolak-balik. Dinamakan demikian karena sifat dasar hati itu tidak mudah berada dalam satu keadaan. Bisa jadi pagi hari beriman, tapi sore hari berubah kufur. Saat ini senang, satu menit lagi sedih. Sekarang bahagia, nanti berubah nestapa. Begitu seterusnya. Kendatipun demikian, hati merupakan inti kehidupan manusia, baik secara fisiologis maupun spiritual. Ia yang menentukan eksistensi dan kebahagiaan hidupnya. Dalam sebuah hadits Nabi mengingatkan:
ألا وإنَّ في الجَسَدِ مُضْغَةً، إذا صَلَحَتْ، صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ، وإذا فَسَدَتْ، فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ، ألا وهي القَلْبُ. رواه مسلم
“Sesungguhnya dalam tubuh manusia itu ada segumpal darah. Jika ia baik maka sekujur tubuhnya akan baik. Tapi jika rusak maka seluruh tubuhnya akan rusak. Ketahuilah, ia adalah hati.” (HR. Muslim)
Pertanyaannya, bagaimana cara menstabilkan hati agar ia bisa konsisten pada jalur yang benar, sehingga dapat mengantarkan pemiliknya kepada kabahagiaan?
Menjawab pertanyaan ini para ulama mengatakan setidaknya ada dua cara. Pertama, mengetahui Allah dengan segenap nama dan sifat jalāl (keagungan) dan jamāl (keindahan)-Nya. Kedua, mengerti karakter manusia, terutama karakter terpuji dan tercela yang melekat pada dirinya. Untuk menguak poin pertama para ulama menulis kitab aqā’id dan kalam (teologi). Sementara untuk mengungkap yang kedua disusunlah kitab raqā’iq dan akhlak tasawuf.
Imam al-Ghazali dalam kitab Ihyā’ ‘Ulūmuddin mengibaratkan hati seperti cermin. Cermin tiap hari pasti terkena debu dan kotoran. Semakin sering dibersihkan, cermin itu akan mengilap dan mampu memantulkan cahaya dengan terang. Demikian pula hati, ia sering terkotori oleh dosa dan kemaksiatan. Iri, dengki, ‘ujub, takabbur, riya’, cinta dunia adalah sederet penyakit yang acapkali menempel dalam hati. Jika tidak sering dilap, tidak kerap dibersihkan, maka cahaya berupa ma’ārif ilāhīyah (ilmu-ilmu ketuhanan) dan mawāhib rabbāniyah (anugerah Tuhan) akan sulit masuk ke dalam relung hati yang terdalam.
Perhatian manusia yang overdosis terhadap kebutuhan fisiknya juga dapat memperlambat daya tangkap hati. Mengonsumsi makanan dan muniman yang berlebihan juga turut memperkeruh kejernihan batin. Karena itu, perlu dipastikan agar yang masuk dalam tubuh adalah sesuatu yang halal dan thayyib, dalam takaran yang wajar, dan tak boleh isrāf (melampaui batas).
Pada titik inilah, dapat dimengerti kepada puasa disyari’atkan, tidak saja kepada umat Muhammad, tapi juga kepada umat-umat sebelumnya. Di antara hikmahnya adalah untuk memoderasi gaya hidup manusia, juga untuk menjaga kejernihan hatinya. Ketika manusia meminimalisasi makanan, minuman, dan kebutuhan biologis lainnya, maka mata hatinya akan terbersihkan dan teraktivasi. Pada saat itulah, batinnya akan hidup dan mudah untuk menerima “kucuran” pengetahuan dari Tuhan. Dalam konteks ini, tidak berlebihan jika para ahli gramatikal Arab mengatakan:
لضمير هو أعرف المعارف بعد لفظ الجلالة
“Dhamir” adalah isim ma’rifat yang paling definit setelah lafzul jalalah.
Selain dapat dipahami sebagai kata ganti, dhamīr juga dapat diartikan sebagai batin atau inti hati. Maka secara esoteris dapat dipahami bahwa orang yang paling mengerti dan memahami hakikat hidup dan kehidupan ini adalah orang yang mata hatinya hidup, mata batinnya bersih. Salah satu jalan terbaik untuk membersihkan hati dan mengaktivasi batin adalah melalui suluk puasa. Semoga di Ramadan ini kita dapat memberishkan hati sehingga layak mendapatkan futūhāt dan limpahan pengetahuan dari-Nya.
Muhammad Ulinnuha, Dekan Fak. Ushuluddin dan Dakwah IIQ Jakarta, Santri TABAH Kranji Lamongan