IIQ Gelar Workshop Metodologi Tahfizhul Qur’an di Perguruan Tinggi

JAKARTA – Auditorium Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta melalui divisi Tahfizhul Qur’an menggelar Workshop Metodologi Tahfizhul Qur’an di Perguruan Tinggi. Hadir sebagai Narasumber dalam acara ini, Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, Dr. KH. Ahmad Musta’in Syafi’i, dan Dra. Afidah Wahyuni, M.Ag.

Acara dengan tajuk “Memformulasikan Berbagai Metodologi Tahfizhul Qur’an Menuju Metode yang Efektif-Modern” ini merupakan puncak kegiatan dari pelatihan tahsîn at-tartîl (memperbaiki bacaan) yang dilaksanakan sejak 13 sampai 17 Februari lalu.

Dalam sambutannya, Ketua divisi Tahfiz, Dr. KH. Ahmad Fathoni, MA., menegaskan tentang pentingnya mereformulasikan metodologi tahfiz Al-Qur’an di Perguruan Tinggi. “Metode-metode yang ada sebisa mungkin akan kita rumuskan menjadi sebuah metode baru yang efektif dan modern sehingga mahasiswa dapat dengan mudah menghafal Al-Qur’an ditengah-tengah kesibukannya kuliah,” jelasnya.

Sementara itu, Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad mengemukkan tentang metodologi tahfizhul Qur’an di pesantren. Setidaknya ada lima prasyarat dalam proses menghafal di dunia pesantren: tersedianya mushaf standar, guru yang mukhlis (tulus), konsistensi santri dalam menghafal, dan lingkungan yang memadai. Terkait dengan metode, Ahsin mengatakan bahwa dalam menghafal Al-Qur’an ada tiga tahapan yang harus dilewati: melek (melihat tulisan Al-Qur’an yang ada di mushaf), merem melek (setengah melihat tulisan), merem (tidak melihat tulisan).

“Bila santri sudah mampu menghafal Al-Qur’an dan dia tidak terganggu dengan pemandangan yang ada di depan matanya, berarti hafalannya sudah ngapal (dianggap cukup kuat-red),” tuturnya.

Di sisi lain, Afidah Wahyuni mengemukakan tentang sejarah tahfizh di Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta dari waktu ke waktu. Menurut catatan dekan Fakultas Syari’ah ini, metode yang dipakai IIQ dari tahun ke tahun selalu mengalami perubahan. Kendati demikian, dapat dikatakan bahwa metode-metode tersebut belum dapat dikatakan efektif. “Karena itu dibutuhkan temuan-temuan metode baru yang lebih efektif dan aplikatif,” jelasnya.

Pada penghujung acara, KH. Musta’in Syafi’i menyampaikan materi metodologi tahfizul Qur’an di kalangan pelajar. Secara garis besar, ada tujuh hal penting yang mempengaruhi proses menghafal Al-Qur’an di sekolah yaitu: lingkungan, keluarga, lembaga (sekolah-red), do’a, target, metode, dan sarana.

Lingkungan harus dikondisikan sedemikian rupa sehingga menjadi bi’ah mudarasah (lingkungan belajar) yang nikmat dan santai. Keluarga berperan penting dalam memberikan dorongan do’a dan support kepada siswa. Lembaga harus memiliki komitmen yang kuat. Target hafalan disesuaikan dengan kurikulum. Semenatara sarana dapat berupa piranti manual maupun elektronik.

Secara khusus, metode yang dipakai adalah metode Qira’ah wa al-Ittiba’ (guru membaca-siswa menirukan), kitâbah (menulis ayat), ‘Ardl wa at-Tasmî’ (memperdengarkan hafalan dan setoran), tashwîr (membayangkan tulisan ayat dalam mushaf), dan klasikal (mengelompokkan siswa dan jumlah hafalan).

“Dengan metode ini, alhamdulillah siswa-siswa kami dapat menghafal al-Qur’an dengan mudah, menyenangkan, dan mengasyikkan,” terang pengasuh pesantren Madrasatul Qur’an Jombang Jawa Timur ini. [MU]