IIQ Jakarta–BPKH Bedah Reformasi Ekosistem Haji: Pengawasan Dana Amanah Menuju Tata Kelola Syariah Berkelanjutan

Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta melalui Program Pascasarjana menyelenggarakan Seminar Nasional Hukum Ekonomi Syariah bertajuk “Penguatan Pengawasan Keuangan Haji Pasca Reformulasi Ekosistem Haji dan Umrah”, Kamis (18/12/2025). Seminar yang berlangsung di Aula Kampus IIQ Jakarta ini merupakan hasil kerjasama dengan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dan menjadi forum untuk membedah tantangan, peluang, serta arah baru tata kelola haji Indonesia dalam lanskap keuangan syariah modern.

Rektor IIQ Jakarta, Assoc. Prof. Dr. Hj. Nadjmatul Faizah, SH, M.Hum, menyampaikan bahwa dana haji tidak dapat diposisikan sebagai dana bisnis biasa. Menurutnya, dana haji adalah amanah ibadah yang lahir dari niat suci, kesabaran menunggu, dan harapan jutaan umat. Karena itu, pengawasan keuangan haji harus dimaknai sebagai tanggung jawab moral dan spiritual, bukan sekadar kewajiban administratif. Rektor juga menekankan bahwa ekosistem haji merupakan sebuah sistem utuh; ketika satu komponen tidak berfungsi optimal, maka dampaknya akan langsung dirasakan oleh jemaah.

Penjelasan komprehensif mengenai arah transformasi ekosistem haji disampaikan oleh Dr. M. Dawud Arif Khan, SE, M.Si., Ak., CPA, Anggota Dewan Pengawas BPKH. Beliau menyampaikan bahwa ekosistem haji dan umrah Indonesia tengah mengalami perubahan paling signifikan dalam dua dekade terakhir. Lonjakan jumlah jemaah, dibukanya peluang umrah mandiri, serta percepatan digitalisasi telah mengubah pola layanan, transaksi, dan interaksi jamaah. Dalam konteks tersebut, haji dan umrah tidak lagi semata dipahami sebagai perjalanan ibadah, melainkan juga sebagai industri keuangan syariah terapan dengan nilai transaksi agregat yang mendekati Rp100 triliun per tahun.

Dr Dawud menegaskan bahwa kompleksitas ekosistem haji—yang mencakup visa, maskapai, hotel, transportasi, layanan kesehatan, logistik, hingga kepabeanan—menuntut model pengawasan berbasis value chain. Oleh karena itu, BPKH mendorong penguatan digitalisasi melalui integrasi aplikasi, analisis data jamaah, verifikasi kepatuhan syariah, serta pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan dan blockchain untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana haji. Selain itu, kehadiran BPKH Limited diproyeksikan sebagai instrumen strategis dalam penguatan layanan jemaah Indonesia di Arab Saudi, mulai dari kurasi mitra bisnis hingga pembentukan dispute center dan clearing house.

Dr Dawud juga memaparkan peran strategis BPKH Limited dalam penguatan ekosistem haji di Arab Saudi, mulai dari branding, marketing, kurasi mitra bisnis, hingga pembentukan dispute center dan clearing house. Upaya ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa layanan kepada jemaah Indonesia berada dalam satu ekosistem yang terkurasi, aman, dan sesuai prinsip syariah. Dalam aspek keuangan, BPKH berperan sebagai anchor institution yang tidak hanya mengelola dana haji, tetapi juga menstabilkan pasar keuangan syariah nasional dan mendorong inovasi produk serta layanan.

Dari sisi pengawasan, Bapak Dawud menjelaskan bahwa BPKH menerapkan sistem pengawasan berlapis, baik internal maupun eksternal. Pengawasan internal dilakukan melalui audit internal dan Dewan Pengawas yang didukung berbagai komite strategis, sementara pengawasan eksternal dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan DPR RI. Model ini dirancang untuk memastikan bahwa seluruh kebijakan dan investasi dana haji tetap berada dalam koridor syariah, kehati-hatian, dan kepentingan jemaah sebagai pemilik dana.

Perspektif normatif dan keberlanjutan ekosistem haji disampaikan oleh Dr. Nur Izzah, MA, yang menekankan pentingnya rekonstruksi ekosistem haji melalui integrasi tafsir ayat-ayat haji dengan pendekatan kontekstual. Beliau menjelaskan bahwa haji tidak cukup dipahami sebagai ritual individual, melainkan sebagai institusi kemanusiaan global yang sarat dengan nilai keadilan, persatuan, dan kemaslahatan. Dalam konteks modern, tantangan seperti lonjakan jemaah, ketimpangan akses, hingga krisis lingkungan menuntut pergeseran orientasi penyelenggaraan haji dari sekadar berbasis kuota menuju keberlanjutan dan kualitas spiritual.

Sejalan dengan itu, Dr. Muzayyanah, MA menekankan pentingnya integrasi maqāṣid al-syarī‘ah dan tafsir maqāṣidī dalam kebijakan haji. Menurutnya, ayat-ayat haji harus dipahami tidak hanya dari sisi legal-ritual, tetapi juga dari dampak sosial, ekonomi, dan kemanusiaan. Konsep manāfi‘ dalam Al-Qur’an menunjukkan bahwa manfaat haji bersifat multidimensi dan harus diukur dari kemaslahatan kolektif, termasuk aspek keselamatan, keadilan distribusi, dan keberlanjutan lingkungan.

Sementara itu, isu efisiensi pembiayaan haji dikupas oleh Rahmatul Fadhil, MA, yang menyoroti problem struktural dalam sistem pembiayaan haji Indonesia. Beliau menegaskan bahwa efisiensi dalam perspektif hukum ekonomi syariah bukan sekadar menekan biaya, melainkan menata struktur pembiayaan agar tidak menimbulkan kezaliman antarsesama jemaah. Rahmatul menjelaskan bahwa dana haji adalah milik individual jemaah yang dikelola melalui akad wakālah bil istitsmār, sehingga hasil investasinya merupakan hak jemaah, bukan instrumen subsidi silang yang berpotensi melanggar prinsip keadilan dan kepemilikan individu.

Penguatan kerangka akademik dan kebijakan juga ditegaskan oleh Dr. Hidayat, MA, Ketua Program Studi Magister Hukum Ekonomi Syariah Pascasarjana IIQ Jakarta. Dalam paparannya, beliau menekankan bahwa reformulasi ekosistem haji harus dibarengi dengan penguatan academic control cycle—yakni keterhubungan antara kajian ilmiah, regulasi, implementasi kebijakan, dan mekanisme pengawasan yang berkelanjutan. Menurutnya, tanpa fondasi akademik yang kuat, kebijakan haji berisiko bersifat reaktif dan tidak berjangka panjang

Dr Hidayat menjelaskan bahwa hukum ekonomi syariah memiliki posisi strategis sebagai jembatan antara norma syariah dan praktik tata kelola modern. Karena itu, pengawasan keuangan haji tidak cukup hanya berfokus pada kepatuhan regulatif, tetapi harus memastikan kesesuaian akad, kejelasan hak dan kewajiban para pihak, serta perlindungan terhadap kepemilikan individual jemaah. Dalam konteks ini, peran akademisi adalah menghadirkan instrumen analisis yang mampu mengawal kebijakan agar tetap sejalan dengan prinsip keadilan, amanah, dan keberlanjutan.

Lebih lanjut, Dr Hidayat menegaskan pentingnya integrasi hasil kajian akademik ke dalam pengambilan keputusan publik. Pascasarjana IIQ Jakarta, menurutnya, berkomitmen untuk menjadikan forum-forum ilmiah seperti seminar nasional ini sebagai ruang produksi rekomendasi kebijakan, bukan sekadar diskursus teoritik. Dengan demikian, reformasi ekosistem haji dapat berjalan berbasis data, argumentasi ilmiah, dan nilai-nilai syariah yang kokoh.

Diskusi seminar yang dipandu oleh Jakaria Goro, SE, mahasiswa Magister Hukum Ekonomi Syariah PPS IIQ Jakarta, menegaskan pentingnya sinergi antara akademisi, regulator, dan pengelola dana haji. Seminar ini juga menjadi penegasan peran IIQ Jakarta sebagai perguruan tinggi berbasis Al-Qur’an dalam menghadirkan kontribusi keilmuan bagi penguatan tata kelola haji yang profesional, amanah, dan berkeadilan.

Melalui forum ini, IIQ Jakarta dan BPKH berharap lahir rekomendasi akademik dan kebijakan yang konstruktif untuk memperkuat pengawasan keuangan haji serta membangun ekosistem haji yang berkelanjutan. Lebih dari itu, seminar ini menegaskan bahwa pengelolaan haji adalah ikhtiar kolektif untuk menjaga amanah rukun Islam kelima demi kemaslahatan umat dan generasi mendatang. (FP)