Metode Kritik Ad-Dakhil fit-Tafsir
Sebuah karya penafsiran Al-Quran – pasca Nabi Muhammad saw. – tidak akan pernah lepas dari kesalahan. Demikian itu adalah sebuah konsekuensi karena tafsir Al-Quran merupakan karya manusia biasa, yang merupakan tempatnya salah dan dosa. Namun apa jadinya bila Interpretasi atas ayat-ayat Allah itu sengaja disusupi hal-hal subjektivitas yang muncul dari latar belakang keilmuan dan ideologinya? Atau pertanyaan yang senada, bagaimana jika para pembuat tafsir Al-Quran kerap menggelindingkan referensi-referensi agama selain Islam dalam karyanya itu?
Dengan tegas, sebagai Muslim yang teguh kepada akidahnya, kita harus mengatakan Tidak! untuk menerima model-model tafsir Al-Quran yang dipastikan akan menyesatkan umat kepada pemahaman yang tidak benar atas wahyu Allah Al-Quran Al-Karim. Tafsir Al-Quran yang terdeteksi adanya gejala-gejala infiltrasi demikian itu harus diseleksi sebelum dikonsumsi umat Islam secara banyak.
Buku karangan Dosen Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta ini hadir untuk menuntun umat, terutamanya kaum pelajar dan akademisi, untuk mengetahui dan mendeteksi adanya ad-dakhil dalam tafsir Al-Quran. Selanjutnya, buku ini hadir untuk memberikan informasi apa-apa saja yang masuk dalam segerombolan ad-dakhil. Dan yang paling urgen, buku ini hadir di tengah-tengah kita untuk memberikan langkah aplikatif dalam membedah ad-dakhil dalam tafsir-tafsir Al-Quran.
Secara umum, isi buku ini merupakan gagasan seorang ilmuan Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, Abdul Wahab Mabruk Fayed (1636-1999) dalam bukunya Ad-Dakhil fi Tafsir Al-Quran Al-Karim. Penulisnya mencoba menulis dan mengetengahkan gagasan-gagasan Fayed beserta memberikan catatan-catatan analitik sebagai bahan pengayaan dan pendalaman.
Buku ini terdiri dari 4 bab, yaitu bab pertama mengulas profil kitab Ad-Dakhil fit-Tafsir Al-Quran. Bab kedua, tentang sejarah perkembangan ad-Dakhil. Pada bab ketiga, membahas basis dan autentik tafsir Al-Quran. Dan bab keempat, sebagai bab terakhir, membahas tentang prosedur dan penerapan kritik terhadap tafsir yang tercemari oleh ad-Dakhil.
Hal menarik dalam buku ini, yang penulis tidak temukan dalam buku-buku lain, pertama ialah terkait pembahasan sumber-sumber penafsiran Al-Quran. Di mana misalnya, ketika menjelaskan sumber tafsir pertama, yaitu Al-Quran, dalam buku ini tidak sekadar menyebutkan bahwa sumber tafsir paling utama adalah Al-Quran itu sendiri. Akan tetapi dalam buku ini dijelaskan bagaimana cara Al-Quran menafsirkan dirinya sendiri. Sebagaimana tersebut dalam halaman 81-82, … Fayed mengungkapkan beberapa cara yang dilakukan Al-Quran untuk menjelaskan dirinya sendiri, yaitu merinci yang global, menjelaskan yang belum jelas, mengkhususkan yang umum, membatasi yang tidak terbatas, menaskh, dan mengkompromikan ayat-ayat yang terkesan bertentangan. Tidak hanya merincikan bagaimana Al-Quran ketika menjadi sumber penafsiran, tetapi juga prosedur setiap sumber-sumber tafsir, seperti Sunnah Nabi, pendapat Sahabat dan Tabiin, bahasa Arab dan rayi/ijtihad.
Suatu hal yang lain yang menarik dalam buku ini adalah mengenai prosedur dan penerapan kritik tafsir ad-Dakhil, yaitu bagaimana seorang pembaca tafsir Al-Quran dapat mendeteksi sekaligus mengkritik tafsir-tafsir yang terindikasi adanya infiltrasi. Misalnya, mengenai prosedur mengetahui dan menerapkan tafsir yang terinfiltrasi kebahasaan/lingustik, sebagaimana disebutkan di halaman 154-155, bahwa, .. Parameter yang digunakan untuk membuktikan bahwa tafsir Al-Quran telah terjangkit penyimpangan linguistik (kaidah bahasa Arab), yaitu pertama, dengan mengetahui adanya kontradiksi tafsir dengan kaidah umum yang ada dalam Al-Quran dan Sunnah. Kedua, bertentangan dengan konten pembicaraan. Ketiga, penakwilan yang dipaksakan sesuai kemauan penafsir. Keempat, keluar dari kaidah umum gramatikal bahasa Arab dengan menggunakan kata turunannya. Dan kelima, jauh dari makna umum ayat.
Setelah itu, penulis buku ini menerapkan dalam contoh. Misalnya sebagaimana ad-Dakhil dalam penafsiran kelompok Muktazilah ketika menafsirkan Qs. An-Nisa/4: 164
وَرُسُلًا قَدْ قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلًا لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
Dalam Al-Kasyaf, Imam Zamakhsyari memaknai kallama dengan makna melukai (bukan berbicara). Sehingga makna ayat ini adalah Allah melukai Musa dengan berbagai cobaan. Penafsiran demikian itu telah keluar dari kaidah bahasa Arab secara umum.
Buku ini sangat penting untuk dibaca bagi para peminat kajian tafsir Al-Quran dan juga masyarakat umum. Di dalamnya memudahkan pembaca untuk bagaimana melihat, menelaah dan mengkritisi secara tajam terhadap karya-karya tafsir yang jumlahnya tidak terhitung, dan, tidak banyak dihiraukan oleh masyarakat umum bahwa di dalamnya – tidak menuntut kemungkinan – banyak didapati ad-Dakhil/infiktrasi penafsiran Al-Quran.
Suatu karya tidak lepas dari sebuah kekurangan. Begitupun buku karya Alumni Universitas Al-Azhar yang saat ini menjadi Dosen tetap di IIQ Jakarta. Peresensi mencoba mengajukan kritik atas buku ini. Pertama, dari segi judul misalnya, buku ini tidak menyantumkan kalimat atau kejelasan bahwa isi buku ini merupakan gagasan orang lain, yaitu gagasan Abdul Wahab Mabruk Fayed. Sehingga, buku ini terkesan 100% merupakan gagasan penulis sendiri. Padahal penulis hanya menulis ulang karya orang lain, dan memberi catatan dan ulasan-ulasan.
Penulis kurang dalam memberikan kritik atas buku ad-Dakhil fi Tafsir Al-Quran, yang kemudian menjadi buku dengan judul Metode Kritik ad-Dakhil fit Tafsir. Di sini penulis terkesan seperti Sales yang hanya mendeskripsikan dan mempromosikan sekaligus mengkampanyekan bahwa karya Fayed yang menjadi kajiannya itu adalah karya yang tidak ada cacat secuilpun. Penulis misalnya tidak mempersoalkan, kenapa Fayed merumuskan bahwa salah faktor ad-Dakhil salah satunya adalah kepentingan mazhab tertentu. Padahal, Fayed sendiri menjadikan mazhab Sunni (sebagai mazhab tertentu) sebagai epistemologi kritik ad-Dakhil? Bukannya ini kontradiksi yang nyata? Apakah tafsir-tafsir Al-Quran selain kalangan Sunni semuanya sesat, karena otomatis terinfiltrasi ad-Dakhil mazhabi?
Selain itu, buku ini belum bisa menjawab kegelisahan akademik terkait luasnya dimensi ad-Dakhil dalam tafsir Al-Quran jika memggunakan logika dalam buku Fayed yang dijadikan kajian penulisnya. Misalnya, sebagaimana disebutkan penulis bahwa salah satu sumber autentik tafsir Al-Quran yaitu rayi atau ijtihad. Pertanyaannya, apakah tafsir-tafsir Al-Quran mazhab selain Ahlussunnah, tafsir israiliyyat, bathiniyyah, sufistik, dan produk tafsir lainnya yang dianggap terkena virus ad-Dakhil, semuanya lepas dari ijtihad penafsirnya? Apakah parameter ijtihad yang benar itu sebatas subjektivitas Fayed, atau penulis sendiri?. Begitulah beberapa catatan peresensi atas buku karya Dr. Muhammad Ulinnuha ini.
Tetapi, walau bagaimanapun, buku ini sangat penting dimiliki oleh para peminat studi al-Quran dan Tafsir untuk memperkaya wawasan dan membekali salah satu metode kritik sumber. Begitulah endors Abdul Mustaqim, Kaprodi Jurusan IAT UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ala kulli hal, buku ini sangat bermanfaat bagi penulis resensi, utamanya sebagai penunjang kajian kritik tafsir-tafsir revivalis, yang, kerap kali mengedepankan mazhab kekerasan, inklusif, dan bias patriarki dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Sehingga ketika penulis mengetahui informasi terbitnya buku ini, penulis langsung memburunya, dan kemudian membacanya serta menikmatinya dengan lahap. Wallahu Alam.
Judul Buku: Metode Kritik Ad-Dakhil fit-Tafsir
Pengarang: Dr. Muhammah Ulinnuha
Penerbit: PT. Qaf Media Kreativa
Tahun Terbit: 2019
Tebal Halaman: 215