Menghidupkan Kembali Warisan Intelektual Prof Ibrahim Hosen
Tangerang Selatan — Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta menyelenggarakan 24 Tahun Memorial Conference Refleksi Pemikiran KH. Ibrahim Hosen pada Ahad, 9 November 2025. Acara ini juga menandai peluncuran buku terbaru “Fikih, Fatwa, dan Ijtihad: Menyusuri Pemikiran Islam dalam Konteks Kekinian”. Kegiatan ini menjadi ruang penghormatan sekaligus peneguhan warisan intelektual Prof. KH. Ibrahim Hosen, seorang ulama besar yang telah membentuk arah fikih, fatwa, dan hukum Islam modern di Indonesia.
Sesi talkshow yang dipandu Prof. Dr. KH. Nadirsyah Hosen menghadirkan para narasumber: Prof. Abdul Gani Abdullah, Prof. Asrorun Ni’am Sholeh, Dr. KH. Lukman Hakim Saifuddin, Dr. KH. Jazilul Fawaid, Dr. Hj. Mursyidah Thahir, dan Dr. Hj. Romlah Widayati. Suasana diskusi dibuat cair namun kaya gagasan, sebagaimana karakter Prof. Ibrahim Hosen yang menggabungkan kecerdasan, keluasan ilmu, dan humor dalam setiap pengajarannya.
Prof. Ni’am mengurai secara mendalam pengaruh Prof. Ibrahim Hosen dalam sejarah Komisi Fatwa MUI.
Menurutnya, kualitas ilmiah, kharisma, dan ketokohan Prof. Ibrahim Hosen membuat beliau menjadi ikon fatwa nasional. Berbagai fatwa kontroversial yang dikeluarkan pada masanya tidak lahir dari keberanian semata, melainkan dari metodologi fikih yang sangat kuat dan pemahaman mendalam mengenai realitas sosial-politik.
Prof. Ni’am memberikan contoh kasus SDSB, fatwa kodok, hingga bekicot—semuanya menunjukkan keseimbangan antara teks fikih, maslahat, dan dampak sosial.
“Ada proses personifikasi dan institusionalisasi. Metode Prof. Ibrahim Hosen kini menjadi fondasi pedoman fatwa MUI,” ujarnya.
Sebagai murid dan asisten Prof. Ibrahim Hosen, Bu Mursyidah menjelaskan pengalamannya direkrut ke Komisi Fatwa pada 1995. Beliau menceritakan fatwa donasi organ yang diputuskan berdasarkan kaidah adh-dhararu akhofu dhararain, serta pengalaman mendampingi Prof. Ibrahim Hosen dalam proyek besar Tafsir Al-Qur’an Kementerian Agama.
Beliau juga menyingkap sisi personal Prof. Ibrahim Hosen sebagai pembela hak-hak perempuan dalam peradilan agama dan sosok yang sangat sensitif pada problem sosial. Kisah-kisah seputar poligami, tafsir ayat keluarga, dan peran perempuan menjadi bagian penting dari pengalaman intelektualnya bersama sang guru.
Prof. Amin Suma, salah satu murid yang paling dekat dengan Prof. Ibrahim Hosen, mengenang bagaimana ia menjadi mahasiswa S1 sekaligus asisten Prof. Ibrahim Hosen, sering berdiskusi hingga berjam-jam, bahkan pernah menengahi perbedaan pemikiran antara Prof. Ibrahim Hosen dan Prof. Nurcholish Madjid.
Beliau juga menjelaskan posisi Prof. Ibrahim Hosen dalam kelahiran Kompilasi Hukum Islam (KHI), termasuk interaksinya dengan tokoh-tokoh besar seperti Prof. Wasit Aulawi dan Bustanul Arifin. Dengan sejumlah kisah ringan, termasuk cerita telur penyu yang meledakkan tawa hadirin.
Memasuki sesi berikutnya, Gus Nadir mengalihkan dialog kepada Dr. Hj. Romlah Widayati, Wakil Rektor I IIQ Jakarta, yang sekaligus merupakan salah satu murid terbaik Prof. Ibrahim Hosen. Beliau diminta menjelaskan bagaimana IIQ sebagai amal jariah sang pendiri tetap menjaga visi dan misi di tengah tantangan pendidikan tinggi saat ini.
Bu Romlah menjelaskan bahwa IIQ berdiri pada 1977 sebagai upaya Prof. Ibrahim Hosen untuk meningkatkan harkat dan martabat perempuan melalui pendidikan tinggi. Inspirasi ini datang dari kebutuhan masyarakat serta dorongan Presiden Soeharto agar Al-Qur’an tidak hanya dilombakan tetapi dipelajari dan dipahami secara mendalam.
Visi itu berakar dari prinsip yang selalu diulang Prof. Ibrahim Hosen:
“Jika perempuannya baik, maka negerinya akan baik.”
Karena itu IIQ tetap konsisten mempertahankan kekhususan sebagai perguruan tinggi perempuan pada jenjang S1, sebuah identitas penting yang menjaga mandat pendirinya.
Bu Romlah mengenang bagaimana Prof. Ibrahim Hosen selalu mendorong mahasiswinya untuk menjadi ulama, pendidik, cendekia, dan pemimpin. Beliau menceritakan bagaimana sang guru membantu mencarikan beasiswa ke luar negeri, termasuk untuk dirinya dan Prof. Afidah Wahyuni, yang keduanya diterima di program pascasarjana melalui seleksi nasional.
Menurut Bu Romlah, Prof. Ibrahim Hosen tidak membatasi pendidikan di ruang kelas saja. Beliau sering mengajak mahasiswi untuk menghadiri pertemuan dengan tokoh-tokoh besar seperti Jenderal Try Sutrisno dan Menteri Bustanil Arifin, sebagai cara memperkenalkan IIQ kepada para pemimpin negeri.
Beliau juga menceritakan kisah menyentuh ketika Prof. Ibrahim Hosen mengajaknya bertakziah ke keluarga keturunan Tionghoa yang tidak biasa membaca Al-Qur’an saat ada kematian. Dari sana, Prof. Ibrahim Hosen mengutip ayat dari Surah Ghafir untuk menjelaskan pentingnya mendoakan orang yang wafat.
Bu Romlah menambahkan bahwa Prof. Ibrahim Hosen sangat menekankan pentingnya alat-alat ijtihad. Setiap pertemuan, sang guru selalu memulai dengan pertanyaan: “Apa yang ingin kalian tanyakan?”
Kisah lain tentang perjalanan intelektual Prof. Ibrahim Hosen—dari Buntet hingga Solo, dari Kiai Abbas hingga Kiai Idris Jamsaren—kembali menggambarkan keluasan jejaring keilmuan dan pengalaman berguru sang ulama.
Acara ditutup dengan testimoni pembaca, informasi pemesanan buku, doa penutup, dan ramah tamah. IIQ Jakarta melalui acara ini menegaskan kembali bahwa pemikiran Prof. KH. Ibrahim Hosen adalah warisan yang hidup dan terus tumbuh. (FP)
