Hukum Air Daur Ulang

Oleh: Ahmad Munif Suratmaputra

Anggota Komisi Fatwa MUI dan Purek I IIQ Jakarta

Daur ulang air dengan pengertian upaya mengubah setatus air yang tercemar najis, musta’mal/air bekas/limbah dan air mutaghayyir/yang telah berubah salah satu sifatnya (rasa/warna/bau) menjadi air thahir muthahhir atau air bersih telah lama menjadi perhatian dan kajian Fuqaha’ klasik. Alat ijtihad mereka adalah teori istihalah seperti telah disebutkan diatas. Sesuai dengan zamannya, thariqah/cara mereka cukup sederhana. Waktu itu tentu belum ditemukan teknologi pengolahan air seperti yang dipergunakan PAM/PDAM atau teknologi daur ulang air seperti yang ada dewasa ini. Belum juga ditemukan teknologi penyulingan air modern yang sanggup mengubah/ihalah air laut menjadi air tawar, seperti yang ada di Arab Saudi misalnya.

Betapapun sederhananya, hasil ijtihad Fuqaha’ dalam masalah ini perlu diacungi jempol, sebab yang sederhana hanya cara dan sarananya, sementara hasil ijtihdanya cukup berani, maju, canggih dan dapat dijadikan acuan dalam membedah persoaalan hukum air daur ulang yang kini tengah kita perbincangkan.

Pada dasarnya semua Fuqaha’ dari berbagai mazhab sependapat mempergunakan istihalah sebagai solusi problem air daur ulang. Dalam upaya mengupayakan air yang telah terkena najis/mutanajjis atau mutaghayyir/yang telah berobah salah satu sifatnya (rasa/warna/bau) agar menjadi thahir mthahhir sehingga dapat dimanfaatkan kembali, ada tiga cara yang dilakukan oleh Fuqaha’ klasik, yaitu:

1. Thariqat an-Nazh: menguras air yang terkena najis atau yang telah berobah tersebut; sehingga yang tersisa tinggal air yang aman dari najis dan yang tidak berobah salah satu sifatnya. Hal ini dilakukan dengan tata cara sbb:

a. Mata airnya ditutup terlebih dahulu.

b. Sebelum dikuras, penyebab yang menjadikan air itu najis dibuang

terlebih dahulu.

c. Menghilangkan rasa, warna, bau yang menyebabkan air itu berubah.

d. Air yang akan dikuras itu banyak (dua kullah: 192, 857 kg )

menurut fikih Syafi’i dan Hanbali.

2. Thariqah al-Mukatsarah: yakni dengan cara menambahkan air thahir muthahhir pada air yang terkena najis atau mutaghayyir tersebut; sehingga unsur najis dan semua sifat yang menyebabkan air itu berubah, menjadi hilang.

 

3. Thariqah Tahgyir: yaitu dengan cara mengubah air yang terkena najis atau yang telah berubah sifatnya tersebut; sehingga sifat-sifat asli air itu kembali lagi dan layak dinilai sebagai thahir muthahhir.

Fuqaha’ sependapat bahwa air yang terkena najis atau telah berubah salah satu sifatnya dapat direkayasa dengan tiga cara tersebut untuk mengembalikan status air tersebut menjadi thahir muthahhir. Argumentasinya adalah kaidah istihalah. Air itu pada mulanya thahir muthahhir. Kemudian terkena najis atau karena satu dan lain hal menjadi berubah salah satu sifatnya. Najis dan sesuatu yang menyebabkan air berobah itu datang kemudian. Dengan demikian apabila air itu dapat direkayasa untuk dikembalikan ke aslinya dengan cara menghilangkan najis dan hal-hal yang menyebabkan air itu berubah, maka hukum thahihr muthahhir itu berhak melekat kembali. Inilah hakikat istihalah. Dan itulah air daur ulang yang dikenal oleh Fuqaha’ terdahulu.

Dari sini maka kita dapat menyatakan bahwa lewat metode takhrij Takhrij yang dikenal dalam fikih bukan takhrij dalam ilmu Hadis), air daur ulang seperti yang terjadi pada PAM/PDAM, atau air daur ulang dari limbah pabrik, hotel, perkantoran, rumah tangga dan lain-lain yang notabene telah tercampur dengan bermacam-macam najis (kotoran manusia, urine, bangkai dan lain sebagainya) adalah thahir muthahhir (suci dan mensucikan); sehingga sah dipakai berwudlu, mandi, mencuci najis, istinja’ dan halal untuk diminum, memasak, dan lain-lain, dengan catatan dapat dipastikan berdasarkan penelitian tidak mengandung hal-hal yang membahayakan kesehatan.

Haiah Kibar al-Ulama Saudi Arabia pada sidangnya yang ke13 di Thaif pada bulan Sywwal 1399 H yang dipimpin oleh Syekh Muhammad Ali al-Harakan dan Syekh Abdullah bin Baz menetapkan bahwa air daur ulang dari air yang telah terkena najis atau berubah sifatnya itu hukumnya suci, dapat dipakai untuk menghilangkan hadas dan najis, diminum dan lain-lain, selama dijamin tidak membahayakan kesehatan. Keputusan ini dimuat pada majalah al-Buhus al-Islamiyah no.17 tauhn 1406-1407H. hal. 15-41. Keputusan tersebut dimuat pula pada majalah al-Buhus al-Islamiyah edisi ke 35 hal. 59.

Dengan demikian dapat kita ambil kesimpulan bahwa air daur ulang baik menurut pandangan Fuqaha’ klasik maupun Fuqaha’ kontemporer hukumnya adalah suci dan halal untuk dikonsumsi, dengan catatan berdasarkan uji laboratorium benar-benar dijamin tidak membahayakan kesehatan manusia.

Menurut Kepmenkes No.907/Menkes/VII/2002 tentang Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum yang dikutip oleh Nusa Idaman Said dari Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi BPPT, air minum itu harus bebas dari bahan-bahan organik dan anorganik, bebas dari zat kimia, racun, limbah berbahaya dan sebagainya.

Menurut penulis, persyaratan bahwa air itu tidak membahayakan kesehatan oleh keputusan Konggres Haiah Kibar al-Ulama Saudi Arabia yang menjadi syarat bagi thahir muthahhirnya air dau ulang sejalan dengan Kepmenkes tersebut. Untuk itu hal ini harus kita jadikan acuan secara konsisten untuk menentukan hukum air daur ulang. Apabila kriteria tersebut terpenuhi maka kita tidak perlu ragu lagi menyatakan bahwa air daur ulang tersebut jelas thahir muthahhir dan halalan thayyiba…

KESIMPULAN

Dari urian di atas dapat penulis sarikan beberapa hal-hal sbb:

Kaidah atau teori istihalah yang dikenal dalam kajian fikih dapat dijadikan solusi dalam mengatasi problem air bersih. Bahkan dapat juga dijadikan solusi dalam mengatasi masalah najis dan keharaman sesuatu, terutama terkait dengan masalah minuman, makanan, obata-obatan dan kosmetika; sehingga hidup ini terasa mudah, indah, nyaman, aman dan nikmat. Untuk itu sudah saatnya MUI mempelopori hal ini, yakni menjadikan istihalah sebagai solusi problem hukum Islam.
Air daur ulang menurut hukum Islam adalah air thahir mutahhir (air yang suci dan mensucikan), yang lazim disebut dengan istilah air mutlak (air yang tetap dalam keaslian jati dirinya yang tidak berubah salah satu sifatnya (rasa/bau/warna). Jelas air ini sah dipergunakan untuk berwudlu, mandi, mensucikan najis dan istinja’, halal diminum, untuk memasak dan lain-lain, selama dijamin tidak membahayakan kesehatan manusia. Demikian menurut pandangan Fuqaha’ klasik maupun Fuqaha’ kontemporer berdasarkan teori istihalah.
Daur ulang air diharapkan dilakukan serapi dan secanggih mungkin; sehingga hasil air daur ulang dijamin steril dan aman dari hal-hal yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Untuk itu PAM atau PDAM dan pihak-pihak yang mengelola daur ulang air diharapkan meningkatkan mutu dan kualitas kecanggihan alat-alat yang dipergunakannya sejalan dengan kemajuan zaman.
Bahwa air daur ulang itu tidak membahayakan kesehatan manusia perlu dibuktikan lewat uji laboratorium. Demikian untuk menjamin rasa aman dan melindungi hak-hak konsumen yang perlu mendapatkan perhatian, yang selama ini sering terabaikan.
Perushaan air bersih yang nota bene bahannya mengambil dari air sungai yang sudah bercampur dengan bermacam-macam najis (kotoran manusia dan hewan, urine, bangkai dan lain-lain), demikian juga lembaga atau instansi yang melakukan daur ulang air, diharapkan melakukan pengawasan, pemeriksaan dan penelitian secara periodik terhadap air yang dihasilkannya; untuk menjamin kontinuitas keamanannya bagi kesehatan manusia.
Perlu terus diadakan penelitian untuk menemukan teknologi canggih dalam pengolahan air daur ulang untuk menghasilkan air bersih yang optimal, sebagai wujud konkrit anjuran Islam agar kita terus menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan umat manusia.
Proyek air daur ulang sejalan dengan ajaran Islam tentang perlunya optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam bagi kepentingan hidup manusia dan larangan Islam agar tidak berlaku tabzir; sehingga semua yang ada di alam ini terus dapat dimanfaatkan, sejalan dengan semangat ayat Huwallazi Khalaqa Lakum Ma fir-Ardli Jami’a; Allah lah yang mencipkan semua yang ada di muka bumi untuk kamu semua (QS. Al-Baqarah: 29 ). Wallahu A’lam

 

Ini adalah kutipan dari Makalah penulis yang berjudul Hukum Air Daur Ulang Dalam Kajian Fiki