Ibrahim Hosen dan Terobosan Fiqih untuk Pemberdayaan Ekonomi Umat
“Bumi ini tidak akan sunyi dari ulama yang menegakkan Agama Allah dengan argumentasi ilmunya,” demikian ucapan sahabat nabi, Ali bin Abi Thalib.
Setelah 24 tahun kepergian Prof. K.H. Ibrahim Hosen LML, sebuah Memorial Conference sekaligus peluncuran buku digelar oleh Yayasan Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) bersama Yayasan Ibrahim Hosen tanggal 9 November 2025 lalu di Jakarta. Buku terbaru yang mengangkat warisan pemikiran Ibrahim Hosen berjudul Fikih, Fatwa dan Ijtihad: Menyusuri Pemikiran Islam dalam Konteks Kekinian.
Menteri Agama dan Rektor Universitas PTIQ Jakarta Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar dalam kesempatan itu mengenang sosok Ibrahim Hosen sebagai ulama fatwa dengan jejak luar biasa. Menurut Menteri Agama, pemikiran fiqih Ibrahim Hosen sangat cocok dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia yang memiliki budaya bahari (maritime culture) dengan beragam kondisi suku, ras, namun tetap menjunjung nilai egaliter.
Ibrahim Hosen lahir di Tanjung Agung, Bengkulu, dari orangtua campuran keturunan Bugis-Bengkulu, pada 1 Januari 1917, wafat 7 November 2001 dalam usia 84 tahun. Menempuh pendidikan formal Madrasah Ibtidaiyah Assagaf di Singapura dan Madrasah Tsanawiyah Teluk Betung. Dalam pengalaman belajarnya pernah menjadi santri di beberapa pesantren yaitu di Banten, Cirebon, Solo, dan Sukabumi.
Salah satu pesan gurunya di Pesantren Buntet Cirebon, K.H. Abbas, menjelang Ibrahim Hosen pamit setelah menyelesaikan masa belajarnya: “fiqih itu luas, jangan hanya terpaku dengan satu mazhab saja.” Sejak muda Ibrahim Hosen telah dibimbing menjadi ulama yang mempunyai pandangan moderat dan pengetahuan luas.
Semasa pendudukan tentara Jepang, Ibrahim Hosen sempat masuk Gunsei Gakko Batusangkar, Sumatera Barat. Di ranah Minang ia mempelajari ilmu administrasi dan pemerintahan. Di masa revolusi kemerdekaan ikut perjuangan gerilya di Sumatera bagian selatan.
Dari tahun 1955 sampai 1960 melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar Cairo, Mesir, Fakultas Syariah, dengan status pegawai tugas belajar dari Kementerian Agama. Sewaktu kuliah, ia aktif berorganisasi dan terpilih sebagai Ketua Umum Himpunan Pelajar Indonesia (HPI) di Cairo.
Pada tahun 1979 Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta mengukuhkan Ibrahim Hosen sebagai Guru Besar Bidang Syariah. Selain itu, Universitas Islam Bandung (UNISBA) di masa Rektor Dr. K.H. E.Z. Muttaqien mengukuhkannya sebagai Guru Besar UNISBA tahun 1984. Sebagai ulama yang memiliki kapasitas akademisi ia juga mengajar sebagai dosen tamu di beberapa perguruan tinggi keagamaan Islam.
Dalam karier pegawai negeri sipil Ibrahim Hosen pernah menjabat Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Luar Negeri Kementerian Agama (1966 – 1971). Sejak tahun 1971 menjadi Penasihat Ahli Menteri Agama hingga 1982 dalam periode Menteri Agama Prof. Dr. H.A. Mukti Ali dan H. Alamsjah Ratu Perwiranegara.
Ibrahim Hosen adalah Rektor IAIN Raden Fatah Palembang yang pertama, tahun 1964 hingga 1966. Pernah ditawari menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Arab Saudi, namun kesempatan menjadi Dubes tidak diambilnya karena merasa lebih banyak manfaatnya kepada agama dan bangsa dengan terus mengabdi di tanah air. Ibrahim Hosen mendedikasikan hidupnya sampai usia lanjut sebagai ulama dan pendidik.
Legenda Komisi Fatwa
Dalam kepengurusan Majelis Ulama Indonesia (MUI Pusat) Ibrahim Hosen diamanahkan sebagai salah satu Ketua sejak periode kedua MUI tahun 1980 – 1985. Pada MUI periode pertama 1975 – 1980, di masa kepemimpinan Prof. Dr. Hamka, ia duduk sebagai anggota Komisi Fatwa. Ia menjabat Ketua Komisi Fatwa MUI mulai tahun 1985, menggantikan K.H.M. Syukri Ghozali yang berpulang ke rahmatullah pada 20 September 1984.
Sewaktu wafat 7 November 2001 Ibrahim Hosen menjabat Penasihat Komisi Fatwa MUI, sedangkan Ketua Komisi Fatwa waktu itu adalah K.H. Ma’ruf Amin sebagai pengganti dan kader yang disiapkan beliau. Dalam artikel Prof. Dr. Abu Rokhmad (2019) menyebut Ibrahim Hosen sebagai “legenda Komisi Fatwa MUI”.
Dalam pengembangan perbankan syariah Ibrahim Hosen turut memberikan andil dan kontribusi yang cukup penting. Ia tampil sebagai pemakalah dalam Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan Majelis Ulama Indonesia di Cisarua Bogor, Agustus 1990, dengan moderator Dr. M. Quraish Shihab, pembahas K.H. Ali Yafie dan K.H. Ahmad Azhar Basyir, MA. Lokakarya Bunga Bank tahun 1990 itu menjadi langkah permulaan menuju berdirinya Bank Muamalat sebagai bank syariah pertama di Indonesia. Bank Muamalat resmi berdiri pada 24 Rabiul Akhir 1412 H/1 November 1991 dan beroperasi mulai 1 Mei 1992.
Ibrahim Hosen meninggalkan amal jariyah tak ternilai dalam pengembangan ilmu Al-Quran di tanah air. Ia adalah pendiri Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) untuk mahasiswa/laki-laki tahun 1971. PTIQ yang sejak 17 Januari 2023 berubah menjadi Universitas PTIQ dalam sejarahnya lahir sebagai jawaban atas anjuran Presiden Soeharto ketika membuka Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Tingkat Nasional pertama di Ujung Pandang (Makassar), Sulawesi Selatan, tahun 1968. Presiden waktu itu menghimbau agar umat Islam tidak cukup hanya memusabaqahkan bacaan Al-Quran, akan tetapi lebih dari itu hendaknya digali inti ajarannya, untuk disumbangkan dalam pembangunan bangsa kita.
Sejarah mencatat PTIQ merupakan perguruan tinggi pertama di dunia Islam yang memiliki program studi menghapal dan mempelajari Al-Quran. Enam tahun setelah mengakhiri pengabdiannya di PTIQ dengan suka-dukanya, Ibrahim Hosen mendirikan perguruan tinggi Al-Quran khusus untuk mahasiswi/perempuan tahun 1977 yang diberi nama Institut Ilmu Al-Quran (IIQ). Dalam pengabdiannya Ibrahim Hosen pernah menjabat Rektor di PTIQ dan IIQ Jakarta.
Ibrahim Hosen turut andil dalam penyusunan karya besar Al-Quran dan Tafsirnya dalam bahasa Indonesia dari Kementerian Agama. Sejak tahun 1972 diterbitkan Keputusan Menteri Agama Nomor 90 Tahun 1972 tentang susunan Dewan Penyelenggara Pentafsir Al-Quran yang sebagian besar terdiri dari anggota-anggota Dewan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran yang telah berhasil menyusun Al-Quran dan Terjemahnya tahun 1965. Dewan Penyelenggara Pentafsir Al-Quran pertama kali diketuai oleh Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., dan sejak tahun 1973 digantikan oleh Prof. H. Bustami A. Gani, berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 8 Tahun 1973. Para anggotanya, antara lain Prof. K.H. Ibrahim Hosen LML.
Dalam perjalanan waktu, Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML ditunjuk sebagai Ketua Dewan Penyelenggara Pentafsir Al-Quran, sementara Prof. Bustami A. Gani sebagai anggota. Karya besar Kementerian Agama itu diterbitkan pertama kali tahun 1975 oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, dengan Kata Sambutan Presiden Soeharto, Ketua DPR-RI Dr. K.H. Idham Chalid, dan Menteri Agama Prof. Dr. H.A. Mukti Ali.
Mumpuni di Bidang Fiqih
Kredibilitas Ibrahim Hosen sebagai ulama yang mumpuni di bidang fiqih diakui secara luas. Salah satu yang dikenang dari sosoknya, ia memiliki prinsip dan keberanian menyampaikan pendapat menurut tinjauan ilmu yang diyakininya, sekalipun berlawanan arus dengan pendapat umum di masyarakat. Sepanjang hayatnya Ibrahim Hosen dikenal sebagai ulama yang responsif terhadap masalah-masalah aktual dalam kehidupan umat Islam, terutama yang bersentuhan dengan hukum agama. Perspektif pemikirannya dalam masalah hukum agama berorientasi pada kebutuhan umat di masa kini dan masa depan dengan tetap menghargai pendapat ulama terdahulu atau disebut kaul-kaul ulama sejak masa lalu dalam kitabnya.
- Andi Lolo Tonang, SH, mantan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji, dalam buku Prof. K.H. Ibrahim Hosen dan Pembaharuan Hukum Islam (1990) mengulas Ibrahim Hosen adalah penerjemah kaidah hukum Islam untuk menjawab tantangan pembangunan. Ia yang mencetuskan sistem cicilan pada pembayaran ONH (Ongkos Naik Haji) dan menyatakan bahwa sistem cicilan ONH hukumnya halal. Masalah fiqih dalam buku Manasik Haji Kementerian Agama di masa itu banyak diwarnai pemikiran ijtihad Ibrahim Hosen selaku Ketua Komisi Fatwa MUI. Dibolehkannya melempar Jumroh di pagi hari, miqat jemaah haji di Jeddah, shalat dan tayamum di pesawat terbang bagi jemaah haji, merupakan masalah ijtihad dalam fiqih haji yang tak dapat dilepaskan dari pemikiran fiqih Ibrahim Hosen.
Umat Islam Indonesia patut bersyukur dalam abad ke-20 setelah kemerdekaan kita memiliki beberapa ahli fiqih kaliber nasional, seperti Abdul Hamid Hakim (1893 – 1959), Prof. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy (1904 – 1975), Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML (1917 – 2001). K.H. Ahmad Azhar Basyir, MA (1928 – 1994), Prof. K.H. Ali Yafie (1926 – 2023), Prof. Dr. Amir Syarifuddin (1937 – 2023) dan beberapa nama lainnya. Para maestro ilmu fiqih itu meninggalkan karya yang menginspirasi pembaruan fiqih atau hukum Islam yang dilanjutkan oleh para ulama dan sarjana generasi berikutnya.
Dalam Musyawarah Alim Ulama se-Indonesia diselenggarakan oleh Pusat Dakwah Islam Indonesia tahun 1970 di Jakarta, Ibrahim Hosen melontarkan gagasan pembentukan Lembaga Fatwa dan menjelaskan urgensinya bagi umat Islam di Indonesia. Meski usulan tersebut tidak diakomodir menjadi keputusan musyawarah alim ulama di masa itu, namun sejarah telah mencatatnya sebagai wacana yang pernah dibahas di dalam forum musyawarah ulama tingkat nasional.
Ibrahim Hosen memelopori ijtihad fiqih tentang kebolehan wanita menjadi hakim agama dalam masalah perdata di pengadilan. Pandangan fiqih kontekstual mengenai hakim wanita disampaikannya dalam pertemuan ulama tingkat nasional untuk membicarakan boleh tidaknya wanita menjadi hakim. Pertemuan ulama untuk membahas masalah hakim wanita diprakarsai oleh Menteri Agama Prof. Dr. H.A. Mukti Ali setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam beberapa penjelasannya Ibrahim Hosen membedakan kaidah agama Islam dan kaidah hukum Islam. Ia memberi contoh, kaidah agama Islam misalnya tentang makanan halal, sangat simple dan sederhana. Kaidah agama Islam menyatakan makanan halal adalah yang tidak diharamkan dalam Al-Quran dan Al-Hadis. Sedangkan yang diharamkan dalam Al-Quran atau Al-Hadis sangat sedikit. Tetapi, ketika menyebut kaidah hukum Islam, masalahnya meliputi berbagai pendapat mazhab, sehingga sangat luas. Makanan dan minuman yang syubhat yakni sama-samar antara halal atau haram, menurut Ibrahim Hosen, selama belum ada pembuktian laboratoris dikembalikan ke hukum asalnya yaitu halal. Pendapat ini berbeda dari pendapat sebagian besar ulama yang menyatakan sebaliknya yakni haram.
Dalam tulisannya yang dibukukan Ibrahim Hosen menjelaskan syariat adalah hukum yang statusnya qath’iy (pasti, jelas, definitif) dan harus diterima apa adanya, tidak boleh ditambah ataupun dikurangi. Sedangkan fiqih adalah hukum Islam yang statusnya zhanny (perkiraan, spekulatif) yakni tidak ditegaskan secara langsung oleh nash (dalil hukum) Al-Quran maupun Sunnah/Hadis Nabi Saw. Hukum fiqih baru diketahui setelah digali melalui ijtihad (penggalian hukum agama dari sumbernya).
Dalam makalah yang dipaparkannya pada Musyawarah Alim Ulama se-Indonesia tahun 1970 bahwa masalah fiqih tidak dapat dilepaskan dari persoalan mazhab. Dalam hubungan ini, fatwa dapat dikeluarkan oleh siapa saja asal memenuhi syarat, sedangkan hukum hanya dapat ditetapkan oleh hakim, baik yang diangkat oleh pemerintah atau yang ditunjuk dengan jalan ber-tahkim oleh orang yang sedang berselisih. Orang yang menerima fatwa tidak terikat dengan suatu fatwa, sedangkan orang yang meminta hukum terikat untuk melaksanakan hukum yang diterimanya itu.
Setiap ijtihad mengandung dua kemungkinan: benar atau salah. Dalam Islam diyakini ijtihad yang benar mendapat dua pahala, sedangkan ijtihad yang salah mendapat satu pahala, sepanjang ijtihad itu sesuai kriteria, benar metodologinya dan dilakukan oleh orang yang berkompeten dalam bidang ilmunya.
Suatu ketika dalam pengajian pegawai Kementerian Agama tahun 1970-an, Ibrahim Hosen menguraikan hukum syariat Islam itu sifatnya abadi, sedangkan fiqih adalah pola pikir yang sifatnya tidak mutlak. Pernyataan ini mungkin mengagetkan bagi sebagian orang di masa itu. Hemat saya, ketika Ibrahim Hosen menjelaskan bahwa hukum syariat sifatnya mutlak dan abadi, sedangkan fiqih adalah pola pikir yang sifatnya tidak mutlak, secara tidak langsung menanamkan dasar-dasar “toleransi bermazhab” bagi umat Islam. Ini menjadi warisan abadi, di samping sejumlah karya tulisnya sebagai refleksi kecintaan terhadap ilmu-ilmu agama. Bagi Ibrahim Hosen, kebenaran ilmiah harus ditegakkan.
Pemberdayaan Ekonomi Umat
Ibrahim Hosen merupakan salah seorang ulama Indonesia abad ke-20 yang melontarkan pemikiran progresif dan terobosan fiqih zakat agar dana umat dapat dihimpun dalam jumlah lebih besar. Mengingat zakat memiliki fungsi dan peranan penting dalam menopang perjuangan umat, maka salah satu langkah ialah memperluas cakrawala zakat dengan mengembangkan jenis-jenis harta yang wajib dizakati.
Menurut Ibrahim Hosen, di zaman modern ini terdapat jenis-jenis harta yang potensial sebagai objek zakat, namun menurut mazhab Syafi’i tidak terkena zakat. Karena itu, diperlukan terobosan baru dan sosialisasi jenis-jenis harta objek zakat dengan dua pendekatan hukum yaitu: berpegang dengan zhahir nash (dalil tekstual) dan melalui qiyas (analogi hukum) yakni mengembangkan ‘illat (alasan hukum) mengenai kewajiban zakat pada jenis-jenis harta yang wajib dizakati sebagaimana pandangan mazhab Abu Hanifah.
Ibrahim Hosen merinci harta yang wajib dizakati dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kategori, ialah:
Pertama, semua jenis logam, permata dan barang berharga yang hukumnya bersumber pada nash mengenai emas dan perak. Atas dasar ini, semua jenis logam berharga dan dapat dikembangkan, seperti intan, berlian, zamrud, permata, mata uang, surat berharga dan lain-lain dapat dikenakan zakat.
Kedua, segala jenis tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat, hukumnya bersumber pada nash mengenai gandum, jelai/sya’ir, kurma dan anggur. Kewajiban zakat tanam-tanaman dan tumbuh-tumbuhan tidak terbatas hanya pada yang mengenyangkan atau makanan pokok saja sebagaimana dalam mazhab Syafi’i. Jadi atas dasar ini, berdasarkan qiyas, setiap tanaman atau tumbuh-tumbuhan yang potensial dan bermanfaat dapat dikenakan zakat, seperti kopi, teh, lada, kelapa, vanili, pala, pisang, singkong, sayur-mayur, anggrek, rotan, bambu, kayu dan lain-lain.
Ketiga, segala jenis hewan yang halal dan baik di darat maupun di laut yang hukumnya bersumber dari nash mengenai unta, sapi dan kambing. Dalam hal ini, kewajiban zakat dapat dikenakan pada peternakan ayam, burung, puyuh, kelinci, belut, ikan bandeng, tawes, gurame dan lain-lain.
Keempat, segala bentuk hasil usaha yang membawa keuntungan yang hukumnya bersumber pada nash harta perniagaan. Setiap harta yang ada usaha pengembangannya dapat dikenakan zakat dengan syarat-syarat tertentu, seperti pedagang cangkir, gelas, piring, kacamata, sepatu, sandal, bahan-bahan bangunan semen, besi, kayu, batu, bata, batako dan lain-lain.
Menurut Ibrahim Hosen, penyaluran zakat kepada mustahik (orang yang berhak menerima zakat) dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu:
Pertama, penyaluran dalam bentuk produktif dan investasi, di samping dalam bentuk konsumtif.
Kedua, memperluas pengertian sabilillah, bukan hanya untuk sukarelawan perang, akan tetapi semua kegiatan dan aktivitas yang dimaksudkan untuk kemaslahatan umat/umum dan meninggikan Agama Allah.
Seandainya penyaluran zakat dibatasi hanya dalam bentuk konsumtif, setelah zakat yang diberikan itu habis, fakir miskin akan kembali seperti sedia-kala tanpa perubahan taraf hidupnya. Untuk mengatasi kondisi demikian, selain zakat itu disalurkan kepada mustahik dalam bentuk konsumtif karena memang tidak mungkin dihilangkan, harus ada yang disalurkan dalam bentuk produktif dan investasi.
Ia memberi ilustrasi, untuk mustahik yang mempunyai keahlian di bidang pertanian dapat diberi zakat dalam bentuk lahan (tanah), benih unggul, alat-alat pertanian yang diperlukan seperti traktor dan lain-lain. Bagi mustahik yang memiliki keahlian jahit-menjahit dapat diberi zakat dalam bentuk mesin jahit, dan begitu pula untuk bidang usaha lainnya. Zakat dapat pula disalurkan dalam bentuk investasi, seperti mendirikan koperasi bersama, PT, CV dan pabrik yang dapat menyerap tenaga dari fuqara’ wal masakin (fakir dan miskin). Untuk ini, menurut Ibrahim Hosen, sebaiknya diambil dari bagian asnaf yang tidak ada orangnya.
Sang legenda Komisi Fatwa MUI itu mengikuti ijtihad Syekh Mohammad Abduh dan Fakhrurrazi tentang asnaf sabilillah. Menurut Tafsir Al-Manar Muhammad Rasyid Ridha (murid Mohammad Abduh), definisi sabilillah (QS At-Taubah ayat 60) mencakup semua kemaslahatan umat Islam yang sifatnya umum yang menjadi pilar tegaknya urusan agama dan negara, bukan kepentingan perseorangan atau individu.
Menurut penjelasan Ibrahim Hosen, definisi sabilillah cakupannya luas sekali, meliputi segala upaya, kegiatan dan aktifitas untuk kepentingan umat dan meninggikan Agama Allah, seperti membangun lembaga pendidikan, madrasah, perguruan tinggi, pondok pesantren, masjid, mushalla, rumah sakit, balai pengobatan, dana pengembangan dakwah, lembaga-lembaga sosial, jalan raya, jembatan dan lain-lain.
Legasi Intelektual
Semasa hidupnya Ibrahim Hosen menulis buku Fiqih Perbandingan terdiri dari beberapa jilid. Jilid 1 membahas masalah Nikah, Talak, Rujuk dan Hukum Kewarisan dicetak ulang sampai sekarang. Dalam rangka ulang tahunnya ke-70 diterbitkan buku yang merangkum biografi, pemikiran dan testimoni dengan judul Prof. K.H. Ibrahim Hosen dan Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia.
Buku lainnya, Bunga Rampai Filsafat Hukum Islam (1997), membahas 20 tema penting hukum Islam berkaitan dengan isu-isu kontemporer. Selain itu, Sistem Hukum Pancasila Dipandang Dari Sudut Hukum Islam dan Jadikanlah Islam Agama Masyarakat (2012), juga Pemikiran dan Pandangan Ibrahim Hosen Tentang Kemasyarakatan: Kumpulan Tulisan Di Majalah Mimbar Ulama MUI (2022).
Sebuah buku yang mengompilasikan pandangan dan pemikiran fiqih Ibrahim Hosen tentang zakat dan kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi umat ialah Buku Saku Zakat (2025), editor Muhammad Nadratuzzaman Hosen, penerbit Yayasan Ibrahim Hosen.
Ibrahim Hosen dikenang sebagai salah satu ulama Indonesia yang merumuskan pemikiran fiqih zakat melampaui zamannya dalam visi membangun umat masa depan. Program pemberdayaan ekonomi umat sebagai salah satu program prioritas di Kementerian Agama dapat menjadikan pemikiran fiqih tokoh ulama, seperti Ibrahim Hosen, Hasbi Ash Shiddieqy, Ahmad Azhar Basyir, Ali Yafie, dan beberapa ahli fiqih lainnya, sebagai landasan epistemologi. Wallahu a’lam bisshawab. (Sumber: Kemenag.go.id)
Penulis: M. Fuad Nasar (Direktur Jaminan Produk Halal Kemenag)
