Kyai Ibrahim Hosen; Faqih, Ushuli Pembela Perempuan
Siapa yang tak kenal Prof. KH. Ibrahim Hosen (1917-2021). Beliau adalah pakar filsafat hukum Islam dan fikih perbandingan. Pernah menjabat Ketua Komisi Fatwa MUI sejak 1981-2000. Metodologi fatwa MUI yg berlaku hingga kini merujuk pada gagasan besarnya. Tak berlebihan jika Mas Kyai Asrorun Ni’am Sholeh menyebutnya sebagai “legenda hidup komisi fatwa MUI.”
Percakapan tentang Kyai Ibrahim tidak bisa lepas dari fikih dan ushul fikih. Jarang yang mengaitkannya dengan isu lain. Kalaupun ada pasti mengembalikannya lagi pada aras perbincangan yg sama. Padahal beliau juga punya kontribusi luar biasa di luar dua bidang itu. Satu di antaranya adalah soal “emansipasi” wanita.
Secara teoritis misalnya, beliau telah melahirkan sejumlah tulisan seputar isu perempuan. Di antara tulisan tsb adalah; Sekitar Pengertian Islam dan Aurat Wanita, Hukum Memakai Jilbab/Kerudung Bagi Muslimah Menurut Hukum Islam, Fungsi Wanita Menurut Al-Qur’an, Hakim Wanita Menurut Pandangan Syariat Islam, Al-Qur’an dan Peranan Wanita (Ibrahim Hossen Institute, t.th.), Peran Ulama dan Wanita dalam Pembangunan, Meningkatkan Peranan Wanita dan Pemuda Islam dalam Pembangunan (Hosen (ed.), 2022)
Pada tahun 1967, Kyai Ibrahim berani mengeluarkan pendapat yg terhitung “kontoversial” di zamannya, yaitu mengenai kebolehan KB. Boleh, karena KB masuk kategori tanzhim an-nasl (pengaturan keturunan), bukan tahdid an-nasl (pembatasan keturunan). Jarak kelahiran perlu diatur sebagai ikhtiar untuk mewujudkan kesehatan ibu dan anak, juga demi pendidikan, kualitas dan kebahagiaan masa depan mereka.
Pendapat lainnya yg juga sarat dg emansipasi adalah soal kebolehan perempuan menjadi hakim perdata dengan merujuk madzhab Hanafi. Kyai Ibrahim tidak memilih madzhab jumhur yg mengharamkan perempuan jadi hakim karena ‘illat-nya mustanbathah bukan manshushah. Tak ada satu teks pun yg secara tersurat melarang perempuan menjadi hakim.
Secara nyata, ia juga mendirikan IIQ Jakarta Institut Ilmu AlQuran sebagai pusat pendidikan kaum perempuan. Hal itu, selain menggambarkan kedalaman dan progresifitas pemikiran, juga menegaskan pembelaannya kepada kaum perempuan. Berikut ini salah satu alasan kenapa kaum hawa perlu diberdayakan.
“Dari wanita yang baik, yang berakhlak mulia, dan berperan sebagaimana fungsinya, akan lahir suami yang baik, putra putri yang baik, guru yang baik, pejabat yang baik, pegawai negeri yang baik, jenderal yang baik, prajurit yang baik, dan sekaligus akan terkikis segala macam ketimpangan dan krisis sosial yang bersumber dari mengendornya masalah akhlak dan moral.”
Dulu pikiranmu dianggap kontroversial tapi hari ini dianggap relevan dan kontekstual. Benar kata orang; Idza ‘urifa as-sabab bathala al-‘ajab. Semoga kami semua dapat meniti jalan dan terus berdedikasi meneruskan legacy yg engkau wariskan. Qaddasallah sirrah, wa nawwara dharihah, Lahul Fatihah.
Ciputat, 28 Maret 2022
Muhammmad Ulinnuha
(Dekan Fakultas Ushuluddin)