Bu Nyai Nafis Berpulang, Salah Satu Alumni Terbaik IIQ

Jakarta — Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Dunia pesantren Indonesia kembali kehilangan sosok ulama perempuan karismatik. Ibu Nyai Hj. Durroh Nafisah Ali Maksum, pengasuh Pondok Pesantren Ali Maksum Komplek Hindun-Beyt Tahfidz An-Nafisah Krapyak Yogyakarta dan alumni Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta, wafat pada Sabtu, 28 Juni 2025 pukul 04.50 WIB, bertepatan dengan 2 Muharram 1447 H.

Beliau menghembuskan nafas terakhir di RS Dharmais, Jakarta, setelah menjalani perawatan intensif. Kepergian beliau meninggalkan duka mendalam bagi keluarga besar pesantren, para santri, serta masyarakat luas yang mengenalnya.

Dikenal luas dengan sapaan akrab Bu Nyai Nafis, almarhumah dikenal sebagai sosok yang penuh kharisma, bersahaja, dan konsisten mengabdikan hidupnya dalam pendidikan Al-Qur’an. Beliau adalah putri kelima dari KH. Ali Maksum—mantan Rais ‘Aam PBNU periode 1981–1984—dan Nyai Hasyimah Munawwir. Lahir di Bantul, 18 Agustus 1954, beliau menikah dengan KH. Muhammad Nasih Hamid (alm), putra dari KH. Hamid Pasuruan. Almarhumah meninggalkan satu orang putri, Ning Hindun Anisah, beserta menantunya KH. Nuruddin Amin, dan lima cucu yang menjadi sumber kebanggaan keluarga.

Bu Nyai Nafisah menjalani pendidikan formal di Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta pada jenjang S1. Dalam catatan sejarah pendidikan beliau, Kyai Ali Maksum sendiri yang mengantarkannya langsung ke IIQ di masa kepemimpinan almarhum Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML. Momen itu menjadi penanda awal dedikasi beliau dalam bidang ilmu Al-Qur’an yang kelak mengantarkannya menjadi salah satu ulama perempuan terkemuka di tanah air.

Sebagai ahli Al-Qur’an, Bu Nyai Nafisah mengabdikan hidupnya untuk membina para santri, baik dalam hafalan maupun pengamalan nilai-nilai Al-Qur’an. Pendidikan yang beliau berikan selalu ditanamkan dengan semangat kesungguhan, keikhlasan, dan nilai-nilai kemanusiaan.

Nama “Durroh Nafisah Ali” merupakan pemberian langsung dari sang ayah, KH. Ali Maksum. Nama ini sarat harapan agar beliau mengikuti jejak Sayyidah Nafisah, cicit Nabi Muhammad SAW yang dikenal sebagai guru dari Imam Syafi’i di Mesir.

Sejumlah nasihat beliau menjadi bekal hidup para santri dan umat. Antara lain:

“Jika diberikan anugerah di dalam dada berupa Al-Qur’an, maka wajib disyukuri dalam bentuk muroja’ah sepanjang masa sampai meninggal dunia.”

“Jika kamu menomersatukan Al-Qur’an, maka yang lain pasti akan terasa mudah untuk digapai.”

“Senajan ora duwe opo-opo, tapi nek duwe Al-Qur’an 30 juz utuh, bakal keroso duwe opo-opo.”

“Jika dirimu menyibukkan hidupmu dengan hanya mengejar kuliah, sedangkan hafalanmu masih carut-marut, itu saja yang akan kamu kejar sampai akhir hayatmu. Tapi jika kamu menomersatukan Al-Qur’an, pasti yang lain akan terasa mudah untuk dicapai.”

Bu Nyai Nafisah membuktikan bahwa perempuan mampu memainkan peran sentral dalam pendidikan Islam. Kiprahnya sebagai pengasuh pondok pesantren dan pembina santri menjadi bukti bahwa nilai-nilai kesetaraan dan kepemimpinan perempuan dapat tumbuh seiring prinsip-prinsip keislaman yang kuat.

Teladan beliau berlanjut dalam diri putrinya, Ning Hindun Anisah—ulama muda perempuan yang kini menjabat sebagai Sekretaris Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PBNU periode 2022–2027 dan anggota DPR RI periode 2024–2029.

Kepergian Bu Nyai Nafisah menjadi kehilangan besar bagi dunia pesantren dan pendidikan Islam Indonesia. Namun, semangat dan nilai-nilai yang beliau wariskan akan terus hidup dalam jiwa para santri dan generasi mendatang.

Semoga Allah SWT menerima amal ibadah beliau, melapangkan kuburnya, serta menguatkan keluarga yang ditinggalkan dengan kesabaran dan keikhlasan.