Ibrahim Hosen, Legenda Komisi Fatwa MUI

PROF KH Ibrahim Hosen, LML (1917-2001) adalah ulama fikih Indonesia kenamaan. Ia putra dari pasangan KH. Hosen dan Siti Zawiyah. Ayahnya seorang ulama-saudagar berdarah Bugis dan pendiri Muawanatul Khair Arabische School di Tanjung Karang, Lampung. Ibunya keturunan ningrat Kerajaan Selebar Bengkulu.

Kiai kelahiran Bengkulu 1 Januari 1917 ini menempuh pendidikan pertamanya di Madrasah Ibtidaiyyah al-Sagaf Singapura. Lalu melanjutakan studi di Solo, Banten dan lama nyatri dengan KH. Abbas di Pesantren Buntet, Cirebon. Kemudian melanjutkan studinya di Universitas al-Azhar Mesir dan lulus 1960. Kiai Ibrahim Hosen pernah menjadi rektor IAIN Palembang dan pendiri perguruan tinggi Islam di Jakarta, yaitu Institut Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (Institut PTIQ, 1971) dan rektor pertama Institut Ilmu Al-Quran (IIQ, 1977).

Ulama-cendekia ini dikenal sebagai pakar ilmu Alquran, ushul fiqih dan fiqh perbandingan, yang oleh Jalaluddin Rakhmat disebut sebagai Fazlur Rahman-nya Indonesia (https://iiq.ac.id), karena idenya cemerlang, out of the box, dan kadang kontroversial. Atho Mudzhar menyebutnya sebagai tokoh muslim yang berhaluan liberal, alim dan akomodatif (1993), bahkan ada yang menyebutnya sebagai seorang mujtahid.

Amanah penting yang melambungkan nama kiai Ibrahim sebagai seorang faqih yang dikenang hingga sekarang adalah posisinya sebagai Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) selama dua dekade (1981-2000). Komisi fatwa merupakan perangkat organisasi MUI dengan tugas utama menelaah, membahas dan merumuskan masalah fatwa keagamaan. Lahirnya komisi fatwa bersamaan dengan lahirnya MUI pada 1975.

Sebagai ketua komisi fatwa kedua MUI menggantikan KH. A. Syukri Ghazali, Kiai Ibrahim Hosen memiliki posisi istimewa di komisi ini. Menurut KH. Maruf Amin, dialah yang meletakkan kerangka kerja dan metodologi penetapan fatwa di komisi fatwa MUI. Awalnya, mekanisme fatwa MUI terpolarisasi antara gaya NU dan Muhammadiyah. Lalu kiai Ibrahim memperkenalkan format baru yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Karena itulah, para ketua komisi fatwa berikutnya seolah hanya mewakili tempat kiai Ibrahim Hosen. Ibaratnya, MUI tak lepas dari komisi fatwa dan komisi fatwa tak bisa dilepaskan dari Kiai Ibrahim Hosen (https://iiq.ac.id).

Beberapa contoh fatwa MUI di mana Kiai Ibrahim Hosen terlibat di dalamnya adalah soal kebolehan umat Islam mengikuti program Keluarga Berencana (KB) ketika mayoritas ulama saat itu (1967) belum sepakat mengenai perencanaan keluarga. Kiai Ibrahim Hosen juga disebut sebagai ulama pertama Indonesia yang membolehkan seorang perempuan menjadi hakim. Saat itu, Kiai Ibrahim harus berdebat keras dengan KH. Mahrus Ali Lirboyo yang mengharamkan perempuan menjadi hakim.

Kontroversial

Yang paling kontroversial adalah ketika Kiai Ibrahim Hosen berpendapat bahwa SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) bukanlah judi (maisir). Kiai Ibrahim berpandangan bahwa tidak setiap undian adalah judi dan tidak setiap yang bersifat untung-untungan adalah maisir. Sebab, jual beli dan sewa-menyewa juga mengandung unsur untung-untungan (artinya ada ketidakpastian).

Menurut Kiai Ibrahim, dengan mengutip pendapat Imam Syafii, illat hukum (alasan) haramnya maisir adalah taruhan dan berhadapan. Jika tidak ada dua unsur itu, berarti SDSB bukan termasuk judi. Akibat pandangan ini, Kiai Ibrahim di-bully banyak pihak. Untuk menjawab berbagai tuduhan negatif, ia menulis buku dengan Ma Huwa al-Maisir: Apakah Judi itu (1987) (https://iiq.ac.id).

Mengenai talfiq, Kiai Ibrahim juga memiliki pandangan yang menarik. Menurutnya, talfiq adalah beramal dalam suatu masalah menurut hukum yang merupakan gabungan dari dua madzhab atau lebih. Kiai Ibrahim berpandangan bahwa talfiq dibolehkan dalam Islam.

Dengan mengutip pendapat Kamal bin Hasan, ia berpandangan bahwa tidak ada satupun nash Alquran dan sunnah yang mewajibkan seseorang harus terikat dengan satu mazhab tertentu. Mewajibkan seseorang harus terikat pada satu mazhab akan mempersulit umat, padahal asas hukum adalah meniadakan kesulitan (˜adam al-haraj). Dengan catatan, talfiq dapat dilakukan apabila situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan (darurat).

*Berita ini ditulis oleh Abu Rokhmad Musaki, Dosen FISIP UIN Walisongo. Dan telah dimuat oleh suaramerdeka.com