Diskusi Dosen IIQ Bahas Hukum MLM dan Pembelajaran Berbasis Masalah

Diskusi Dosen IIQ Bahas Hukum MLM dan Pembelajaran Berbasis Masalah

JAKARTA Kamis15/10/15, Lembaga Penelitian dan Pengkajian Ilmiah (LPPI) IIQ Jakarta menyelenggarakanDiskusi Dosen dengan menghadirkan dua narasumber, Hj. Muzayyanah MA dan Dr.Esih Hairani M.Pd. Menurut panitia, Diskusi Dosen yang diselenggarakan secara regulerini, diselenggarakan sebagai wadah aktualisasi dan pengembangan wacana ilmiahakademik untuk dosen dan civitas akademika IIQ. Selain para dosen dan civitas akademika lainnya, Wakil Rektor I dan Kepala Biro Akademik dan beberapa ketua Lembaga hadir dalam acara ini,

Narasumberpertama, Hj. Muzayyanah MA yang notabene Dekan Fakultas Syariah IIQ,mempresentasikan makalah tentang MLM dalam Perspektif Hukum Islam, sementaranarasumber kedua, Dr. Esih yang notabene Ketua PSW IIQ, mempresentasikan makalahtentang Pembelajaran Berbasis Masalah dengan menerapkan Student CenteredLearning.

Narasumberpertama yang biasa dipanggil Ibu Muzay, mula-mula menjelaskan bahwa Dalam pandangan ekonomi, Multi Level Marketing (MLM) merupakan suatu metode pemasaran yang dilakukanmelalui banyak level atau tingkatan, yang biasanya dikenal dengan istilah up-line(tingkat atas) dan down-line (tingkat bawah). Up-line dan down-lineumumnya mencerminkan hubungan pada dua level yang berbeda atas dan bawah, makaseseorang disebut up-line jika mempunyai down-line, baik satumaupun lebih. Dari sudut pandang fikih muamalah, hukum MLM, œPada dasarnya bermuamalah hukumnya boleh, sehinggaada dalil yang mengharamkannya. Indikasikeharaman antara lain adanya riba (sistem bunga /penggandaan uang), ghoror(penipuan), dhoror (merugikan atau menzhalimi pihak lain) dan Menghindariperjudian (spekulasi/Maysir)).

Multi Level Marketing (MLM) dalam kajian fikih masuk dalam pembahasanFikih Muamalah atau Bab Buyu (Perdagangan). Sistem pemasaran MLM itusesungguhnya sangat beragam sekali. Dan di dalam keberagamannya itu, bisa sajasatu sama lain saling berbeda dan bertentangan dengan syarat dan rukun jualbeli. Maka pandangan syariah dalam MLM ini pun menjadi sangat tergantungseperti apa anatomi MLM tersebut.

Lebih jauh, Dekan Syariah ini menegaskan bahwa bahwa telah terjadikerancuan dalam akad-akad yang terjadi dalam MLM. Padahal, maksud diaturnyaakad secara ketat dalam fikih muamalah adalah untuk menjamin kepastian hukumdan menutup kemungkinan terjadinya gharar (tipuan), dlarar(kerugian), jahalah (ketidakjelasan), ataupun dzulm (kezalimanterhadap pihak lain), sehingga dapat meminimalisir persengketaan antara parapihak dan menyelamatkan masing-masing pihak dari kerugian.

Bila dilihat dari sudut pandang fikih, menurut Ibu Muzay, ada tigajenis akad yang potensial terjadi dalam MLM, yaitu akad bai (jual beli), jualah(pengupahan), dan samsarah (makelar). Dikatakan bahwa dalam MLM terjadiakad bai karena dalam praktek MLM, ada pembayaran yang dilakukan olehpendaftar dan ada pemberian barang yang dilakukan oleh perusahaan MLM, yangberakhir dengan berpindahnya kepemilikan barang. Apalagi ada MLM yang secarategas menyatakan bahwa bila ingin jadi anggota, pendaftar harus membeli produkterlebih dahulu. Pembelian produk ini kemudian akan secara otomatis dimaknaisebagai pendaftaran.

Dikatakanbahwa dalam MLM potensial terjadi akad jualah, karena disitu terdapatpengupahan (berupa bonus) atas prestasi yang telah dilakukan member (merekrutorang lain yang kemudian menjadi down line-nya). Sedangkan indikasiadanya akad samsarah (makelar) pada MLM terlihat dengan peran darimember dalam hal menghubungkan calon pembeli (bisa juga berarti calon member)dengan pihak perusahaan dimana ia bergabung.

Kesimpulan narasumber ini  ini diperkuatdengan paparan dari Wahbah al-Zuhaily. Menurut Wahbah, diantara jual beli yangdipandang rusak (fasidah) oleh ulama Malikiyyah adalah berkumpulnya jual belidengan salah satu enam akad, yang diantaranya adalah jualah, secara bersamaandalam satu transaksi. Konsekuensinya, karena akadnya dianggap rusak (fasid),maka akadnya pun menjadi terlarang.

Sementara itu narasumber kedua, yang biasadipanggil Dr. Esih, menjelaskan bahwa model pembelajaran yang dianutpada perguruan tinggi mulai mengalami perubahan yakni dari bentuk Teacher Centered Learning ( TCL) ke  StudentCentered Learning (SCL). Faktorpertama yang mendukung perubahan modelpembelajaran di  perguruan tinggi tersebut dikarenakan adanya perubahan secara global meliputi persaingan yang semakin ketat diikutidengan perubahan orientasi lembaga pendidikan, yakni perubahan persyaratan kerja. Faktor kedua karena adanya masalah yang semakin kompleks sehingga perlu disiapkan lulusan yangmempunyai kemampuan di luar bidang studinya. Faktor ketiga karena perubahan cepat di segala bidang kehidupan sehingga diperlukan kemampuan generik atau tranferable skill sedangkan faktor keempat, kurikulum lamaberdasarkan SK. Mendikbud No. 056/U/1994 masih berbasis content. Keempat faktor di atas mendukung  pengembanganperguruan tinggi dari model TCL keSCL dan sesuai dengan empat pillar  pendidikan, yaitu learning toknow,  learning to do, learning tobe  dan learning to live together.

Adapun yang dimaksud dengan PembelajaranBerbasis Masalah, sebagaimana dalam tema presentasi, Dr. Esih menjelaskan bahwaBelajar berbasis masalah adalah suatu pendekatan pembelajarandimana mahasiswa sejak awal dihadapkan pada suatu masalah, kemudian diikutipada proses pencarian informasi oleh mahasiswa.

Demikianlah di antara hal-hal penting yangdikemukakan dua narasumber. Setelah presentasi narasumber, kemudian dibukasessi diskusi. Beberapa peserta dari dosen dan dari civitas akademika IIQlainnya mengajukan beberapa pertanyaan dan komentar, yang kemudian ditanggapibalik narasumber. Acara berjalan seru dari pkl. 14.00 sampai 16.00 WIB, di Aulakampus IIQ Jakarta. (AM)